Senin, 31 Mei 2010

The Tower of Ka Borak

The Tower of Ka Borak

Desember 26th, 2008 by catur amrullah

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita mengintai-ngintai hendak menerkam saat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu, aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kebanyakan, tapi bahkan bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami, suku Mota Pedalaman.



Ratusan orang berkumpul di tanah lapang. Matahari baru mengintip dari celah bukit. Sinarnya hangat sedikit. Semua mata terpacak pada sosok menggetarkan yang tegak menjulang di ujung timur lapangan. Hitam berkilau karena embun yang berkelip dilanun semburat matahari melamur seluruh tubuhnya. Menara besar dari dua kayu ulin yang disambung berukir ular gato menelan matahari. Sisiknya besar-besar bertumpuk. Menara itu, menara Ka Borak. Bukti kekuasaan atas Tanah Mota.

“Ini seperti dalam mimpi para peramal, benar! Tepat sekali! Inilah menara Ka Borak, bukti penguasa Tanah Mota yang dinanti!” Seorang sepuh di antara kerumunan bersuara. Suaranya yang parau hilang tenggelam dalam kegaduhan massa. 1320 warga suku berkumpul di sini, menyaksikan menara Ka Borak yang selama sembilan bulan ini dengan susah mereka buat-dirikan.

Di depan menara, dibangun sebuah mimbar besar, tinggi, dan anggun. Penuh dengan ukiran ular Gato yang meliuk-liuk, melata dan melingkar, menelan matahari; simbol keagungan suku Mota. Seorang lelaki tinggi besar, kulit coklat mengkilat memakai jubah kulit kijang, naik ke mimbar. Tongkat kayu setiginya dihentaknya beberapa kali ke lantai mimbar. Dentamnya menggema mengatasi kegaduhan orang-orang. Seketika tanah lapang itu jatuh sepi, tak ada suara manusia terdengar. Kelengangan yang mistis menyelisik di tiap-tiap tubuh, detak jantung seseorang seakan tertangkap telinga orang di sebelahnya. Semua mata tertuju pada lelaki di atas mimbar itu. Dialah Se Moljo Banahung, ketua suku kami, pemimpin spiritual sekaligus penentu jalan hidup kami.

Tenang sekali. Kicau burung di pohon riuh menanti.

“Wahai orang Mota, persaksikanlah, di depan kalian telah tegak bukti yang dikabarkan dalam Ketab Se Lambok, menara Ka Borak. Menara yang membuktikan bahwa pendirinya adalah penguasa sejati atas Tanah Mota. Bahwa yang membangunnya adalah lelaki yang dijanjikan akan datang dan membawa keagungan, bahwa pendirinya adalah lelaki darah murni yang akan meletakkan suku Mota Pedalaman, suku Mota Pesisir, dan suku Mota Tanah Batu berada di bawah tongkat kekuasaannya. Wahai orang Mota Pedalaman, kalian adalah darah murni suku Mota. Kalian ditakdirkan menjadi pasukan pemersatu suku-suku Mota yang terpencar. Kalianlah penggenggam masa depan itu, menara Ka Borak yang kita dirikan ini menjadi saksi atas kejayaan yang dijanjikan itu. Kita adalah penguasa Tanah Mota!” pekik semangat Se Moljo Banahung menggema-gema dalam tempurung kepala tiap orang yang hadir di situ, dan, seperti ada suatu komando bawah sadar yang amat kuat mengendalikan mereka semua, serentak pekik gegap gempita membahana dari mereka itu.

“Hidup Se Moljo Banahung! Hidup Se Moljo Banahung!”

1320 macam suara memekik satu kalimat yang sama, 1320 jenis kepalan tangan mengacung ke angkasa. 1320 macam semangat melebur menjadi satu ambisi kolektif. Semua itu, 1320 manusia itu, menggumpal ke dalam satu tekad yang amat keras, sekeras menara Ka Borak dari kayu bullin yang tegak di depan mereka, tak bisa ditawar-tawar. Suku Mota Pedalaman telah berhasil menegakkan menara Ka Borak, sebuah menara berukirkan ular gato menelan matahari yang menjadi bukti bahwa pendirinya adalah suku yang berhak memerintah dua suku Mota lainnya, sebagaimana tercantum dalam Ketab Se Lambok, kitab spiritual suku Mota. Dengan ini, suku Mota Pedalaman telah-dengan sepihak-menetapkan ketunggalan kekuasaannya atas dua suku Mota lainnya.

Dalam gemuruh euphoria kekuasaan dan kemenangan yang menari-nari di pelupuk mata, pekik lantang Se Moljo Banahung merengkah:

“Mulai besok, kita akan mengirim utusan pada suku Mota Pesisir dan Tanah Batu, mengabarkan bahwa pemimpin tunggal telah tiba, bahwa mereka kini harus tunduk patuh di bawah tongkat kekuasaan suku Mota Pedalaman. Bukan hanya itu, kita juga akan menundukkan suku-suku lain di sekitaran Tanah Mota. Dan kita, seperti yang dijanjikan dalam Ketab Se Lambok, akan menundukkan matahari!”

Pekik gelora semangat perebutan kekuasaan berkobar menggelegak. Mengema menggetarkan tanah dan batang pohonan. Burung-burung beterbangan ketakutan, berhamburan kacau balau dari dahan tempatnya bertengger. Kera berlompatan dari cabang ke cabang. Harimau dan serigala bersijingkat kabur ke pelosok-pelosok hutan. Kumandang semangat 546 warga suku Mota Pedalaman menggentarkan nyali tiap penghuni hutan, mengabarkan pada semua bahwa kekuatan dan penguasa baru telah datang.

“Sedangkan siapapun itu yang menolak dan menentang kekuasaan kita yang agung ini, maka tiada lain pilihan, kita, suku Mota Pedalaman, tidak akan mendiamkannya begitu saja. Tahukah kalian jawaban bagi pembangkang? Yaitu…..”

Suara lantang Se Moljo Banahung tenggelam dalam gemuruh suara warga sukunya, ‘hidup Se Moljo Banahung!’ Nyaring mendebarkan jantung. Tangan-tangan terkepal diangkat tinggi-tinggi ke angkasa. Menyiratkan tekad dan ambisi yang membuncah. Di barisan belakang, aku tergetar menyaksikan semua prosesi ini. Aku tak bisa bersuara, bukannya ikut larut dalam badai semangat yang dahsyat, tapi terjebak di suatu sudut yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. Aku berkeringat dingin.

“Mereka takkan berhenti, takkan bisa dicegah, takkan terbendung oleh apapun. Menara Ka Borak telah membius meraka, dan darah….. akan tercecer di tiap jengkal Tanah Mota!”



Semakin membuncah semangat di sekelilingku, semakin terkucil aku dalam sudut takut dan khawatir yang kian runcing. Di sekeliling kami, hutan rimbun mengitari dengan amat rapatnya. Di ujung barat lapangan, di belakang jajaran rumah panggung, terlentang jalan setapak yang panjang berkelok menyusur di antara pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Di ujungnya, jalan setapak itu menurun, terus menurun, berputar-putar mengelilingi punggung gunung, membawa kita pada sebuah lereng yang landai, luas membentang. Angin berembus kencang di sini. Ujung bajumu akan berkibar-kibar semarak dibuatnya. Di depanmu, menghampar padang rumput amat luas terbentang, hijau bergelombang oleh rumputan yang digoyang angin, seakan tak bertepi. Nun di hujung barat sana, warna biru terhampar di bawah cakrawala, batas bentangan laut lepas. Berjalab lurus menyeberang lembah, terus ke barat, akan sampailah ke pantai dengan hamparan pasir putihnya. Rumah-rumah dari jalinan batang bambu berderet rapi. Di sebelah tenggara, tebing batu cadas memagar. Merentang sepanjang bibir pantai. Tebing cadas yang telah tegak sedari jutaan tahun lalu, menghadang dentaman gelombang dan badai yang menyerbu dari tengah laut sana. Menjadi saksi dari tiap perahu nelayan yang karam diamuk lanun ditelan topan, menjadi candi dari tiap perpindahan generasi manusia yang hidup si situ. Kaki tebing itu menceruk jauh kedalam, aus karena gesekan gelombang selama masa berjuta tahun. Di bawah tebing itu, menghampar pantai berbatu dan berpasir hitam seperti lumpur, luas membentang. Batu-batu yang menjadi rumah bagi tiram, kerang, jangkang, dan ribuan lagi lainnya.

Sejarah yang mungkin tak termaafkan, atau mungkin yang ‘kan paling diagungkan oleh mereka, terjadi di situ; sembilan hari lalu. Sebelum hari itu, hampir setahun penuh, denting suara pahat besi menghantam batu cadas memecah ketenangan pantai, menyelisik antara debur ombak di bongkahan batu. Tiga puluh orang bergelantungan di dinding tebing batu cadas dengan tubuh terikat tali dari atas. Masing-masing menggenggam sebuah pahat besi terkuat yang ada, dan sebuah palu. Kesepuluh orang itu, para pemahat terbaik suku Mota Pesisir, tanpa kenal lelah bekerja dari pagi hingga sore. Sedikit demi sedikit memahat tebing batu cadas, mengukir suatu rupa yang luar biasa. 500 pahat telah rusak dan remuk, 467 palu pun patah. Mereka, atas instruksi Se Moljo Mapadong, kepala suku Mota Pesisir, mengukir suatu simbol paling sakral yang tercantum dalam Ketab Se Lambok. Symbol kejayaan dan kekuasaan. Ular gato menelan matahari, menara Ka Borak, simbol atas kedatangan sang pemimpin yang dinanti.

Sembilan hari yang lalu, semua orang suku Mota Pesisir berkumpul di depan tebing batu cadas itu. 1543 orang. Mereka menatap takzim tebing cadas yang kini tak lagi polos. Seekor ular gato raksasa melata dengan ganas, meliuk-liuk tak terbendung, mulutnya menganga lebar, menelan matahari. Semua nafas tertahan-tahan. Di depan mereka, menara Ka Borak. Samudera di belakang punggung orang-orang itu seakan membeku disihir aura magis menara luar biasa itu. Semuanya takzim; gelombang, angin, batu, kerang, kepiting, pun manusia. Larut dalam keterpesonaan.

“…lima lautan telah kita jelajah, tak ada sisa lagi yang belum kita datangi.” Se Moljo Mapadong berorasi di hadapan mereka, di atas sebuah batu karang hitam persegi sebesar kerbau. “Badai dan topan samudera tak kuasa membunuh kita! Gelombang dan pasang kita taklukkan! Di setiap pantai ada jejak kaki kita, kekuatan kita terkhabar kesetiap penjuru Tanah Mota, maka siapa lagi yang lebih kuat dari kita?” Suara menggelegarnya bependar-pendar memantul terbentur hamparan tebing cadas, terlempar jauh-jauh ke tengah samudera tak bertepi. Dibawa angin ke buritan tiap perahu yang tengah berlayar, dipatuk burung dibawa kepulau-pulau di seberang sana. Semua yang di situ berseru serempak:

“Tidak ada! Suku Mota Pesisir terkuat! Se Moljo Mapadong terkuat!” Gemuruh ini hampir-hampir membenamkan pantai berbatu itu.

“…Menara Kaborak telah kita buat, ramalan Ketab Se Lambok telah kita wujudkan, dan, kekuasaan dan kekuatan yang dijanjikan telah datang ke suku kita, kemenangan dan kemulyaan telah masuk pintu-pintu rumah kita!!!”

“Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup…”

“…dan kita akan taklukkan seluruh Tanah Mota! Semua akan kita kuasai! Semua akan tunduk! Akan kita miliki! Semua…”



Sorak sorai 1543 orang Mota Pesisir terbang membubung ke angkasa, menggiring potongn-potongan awan ke batas cakrawala, melesat jauh ke tengah samudera membentuk gelombang-gelombang ambisi, keras menghantam tebing cadas dan berulang-ulang menggema. Orang-orang terbius oleh semacam zat adiktif kekuasaan yang mengerikan. Melonjak-lonjak kegirangan. Berteriak-teriak kalap. Di depannya, pada tebing cadas, menara Ka Borak diam membeku. Ular gato yang besar, panjang, liar, meliuk-liuk, hitam gelap penuh misteri, gelap yang menekan dan mnyelubung, gelap yang senantiasa datang pada tiap penghujung senja, menempatkan aku sendiri termangu di bawah pohon randu di belakang rumah. Menyembunyikan dalam malam. Aku tak berkedip, menatap bulan sabit seperti anak kecil lagi sakit. Angin yang berputar-putar menerbangkan daunan gugur juga helai rambutku.

“Ini salah! Tidak boleh begini kita berada Paman, ini salah! Lakukanlah sesuatu!”

Lelaki tua di sebelahku itu hanya diam. Dari tadi dia hanya menunduk, menatap-sepertinya-jemari kakinya yang tersembunyi dalam pekatnya malam tengah hutan.

“Mota Pedalaman telah membangun menara Ka Borak, dan sembilan hari yang lalu, Mota Pesisir rampung mengukir Ka Borak di dinding tebing batu cadas. Paman, keduanya mengklaim sebagai sang Pemimpin yang dinanti, tak bisa ditawar lagi!” Suaraku lirih bersama hembus perih. Di kejauhan, burung hantu menangis sendu.

“Bagaimana dengan Mota Tanah Batu? Bukankah Ka Borak telah mereka dirikan jauh hari sebelum kita dan sebelum Mota Pesisir.” Paman bertanya, dan jelas sekali ada selendang gelisah yang melingkari suara beratnya itu.

“Ya, semenjak lima belas bulan lalu mereka telah menggergaji bukit batu putih. Mereka membuat kubus-kubus batu raksasa, mengukirnya, menyusunnya, menjadikannya ancaman bagi yang lain. 124 kubus batu, disusun setingngi 22 depa, berukir ular gato yang tengah menelan matahari. Menara Ka Borak paman. Dan sekarang, masing-masing suku Mota punya Ka Borak!”

Tak ada jawaban, hanya desah nafas berat yang makin mengerikan dia jawabkan. Pundaknya makin jatuh, kepalanya tunduk seakan bertengger di atasnya hantu keputusasaan. Beban berat yang hampir dua tahun ini dia tanggungkan sampai sudah pada titik kulminasinya. Dua tahun dia berusaha menjelaskan bahwa pendirian menara Ka Borak hanya akan mengundang kehancuran Tanah Mota.

“Ah, tak kuiura Paman, tak kukira engkau akan sebenar ini. Lima belas bulan lalu, ketika Mota Tanah Batu mulai menggergaji batu pertama menara Ka Borak, engkau tahu bahwa itu adalah awal dari kebinasaan kita. Ah, tiada kukira engkau akan sebenar ini Paman, tiada kukira Paman!…”

Aku diam lagi, tak sanggup meneruskan ketakutanku, sepi sekali. Kemana burung hantu? Jangkrik pun bungkam, lalu di pelosok hutan yang jauh merusuk ke dalam, serigala melolong-lolong, menjerit-jerit kesepian.

“Anakku,” Paman bicara, lemah semilir suaranya, “kekuasaan itu seperti sari pati jubok. Sekali kau mencicipi, kau tak bisa berhenti, terus dan terus tak terkendali menjilati sari itu. Sampai baru kemudian, setelah terlambat, kau tahu bibirmu membiru, perutmu panas, tenggorokanmu pahit, dan kau langsung tergeletak tanpa sempat beranjak dari tempatmu berada saat itu. Kekuasaan mengumpan dan meracuni siapapun itu anakku.”

Paman kembali diam. Tangannya mengambil sesuatu dari sebelahnya. Sebuah kitab yang dalam keremangan tampak amat tua tapi amat kuatnya aura sakralnya. Beliau memegangnya erat, seakan ia bisa melarikan diri dari tangannya.

“Begitu seseorang mencicipi kekuasaan selebar daun, dia akan menuntut yang sebesar batang pohon, dan besok akan meminta yang seluas hutan, hingga nanti hanya kematianlah yang akan memotong nafsu serakahnya. Dan, menara Ka Borak, kau tahu apa sebenarnya menara Ka Borak itu anakku?” Aku hanya diam, tak berani menjawab.

“Menara Ka Borak, dalam waktu yang bersamaan, dia juga adalah sari pati jubok, yang meracuni siapa saja yang mencicipinya!”

Aku kaget, tak terbayang paman akan mengumpamakan menara Ka Borak sebagai saripati jubok bagi manusia, menyamakan simbol suci itu dengan tanaman beracun paling mematikan di hutan ini.

“Anakku, awalnya orang-orang Mota tinggal di Tanah Batu, tanah leluhur kita. Lalu mereka berpencar setelah jumlah mereka semakin banyak. Anehnya, hal itu sudah termaktub dalam Ketab Se Lambok. Sebagian pergi ke pesisir, jadilah suku Mota Pesisir. Sebagian yang lain pergi ke pelosok hutan, jadilah suku Mota Pedalaman. Masing-masing mereka berjanji akan terus menjaga persaudaraan, saling melindungi, dan, tentu saja mereka membawa Ketab Se Lambok. Tapi itu kejadian entah berapa ratus tahun yang lampau anakku. Masing-masing suku Mota bertambah besar, bersaing, berebut pengaruh, dan pernah saling serbu, itu kejadian saat kakekku masih belia.”

Paman membuka Ketab Se Lambok. Hitam tiap halamannya, tulisannya tersembunyi dalam gelap pekatnya malam.

“Apa kau sudah faham sekarang anakku mengapa menara Ka Borak berdiri di masing-masing suku?”

Aku mengangguk. Ya, tentu saja, kekuasaan adalah sari pati jubok. Dan sekarang, sari patu jubok itu menampakkan dirinya dalam wujud yang paling menakutkan, menara Ka Borak. Masing-masing suku Mota ingin menjadi penguasa tunggal Tanah Mota, memimpin dua suku Mota lainnya dan menguasai suku-suku kecil lain. Mengajak warga suku berperang bukanlah cara yang tepat jika ingin mendapatkan dukungan penuh dari mereka, para pemimpin suku itu butuh legitimasi sakral, butuh stempel perijinan suci yang akan dijalankan mati-matian oleh tiap warga sukunya. Dan, tanpa ada yang menyadarinya sebelumnya, solusi itu ternyata ada di dalam Ketab Se Lambok. Di dalamnya tertulis bahwa ketika suku Mota menjadi tubuh yang terpisah, seorang lelaki darah murni akan muncul demi menegakkan menara Ka Borak. Menara yang berpahatkan ular gato sedang menelan matahari. Maka ikutilah dia, taatilah dia, karena lelaki yang mendirikan menara Ka Borak adalah orang yang di tangannya persatuan tubuh suku Mota tergenggam. Dan kenyataanya kini, tiap-tiap suku Mota memiliki menara Ka Borak. Masing-masing pimpinan dari suku tersebut mengklaim dirinya sebagai lelaki darah murni seperti yang dijanjikan dalam Ketab Se Lambok. Akulah sang penguasa tunggal Tanah Mota! Akulah sang pemersatu! Akulah raja kalian! Dan suku-suku lainnya harus tunduk taat, jika berani menentang, tidak segan-segan perang penaklukan akan di gelar di atas Tanah Mota. Darah akan dialirkan di padang-padang sunyi tiap penjuru Tanah Mota yang suci.

Aku tertegun. Gambaran kehancuran suku-suku Mota dalam perang saudara yang dahsyat dengan amat nyata berkilatan dalam kegelapan malam yang melingkupi tubuh kami. Setiap suku mengaku yang paling benar, dan, nafsu kekuasaan telah tersulut terbakar.

“Besok kau akan menjalankan tugas terberat dalam hidupmu, berhati-hatilah. Kau tentu tahu Mota Pesisir telah mengirim utusannya kepada kita empat hari yang lalu, mengabarkan keberadaan menara Ka Borak di tanah mereka, meminta ketaatan dan ketundukan kita, tapi kini, malah kita yang mengirim utusan pada mereka untuk meminta hal yang mereka tuntut dari kita. Aduhai Anakku, alangkah bodohnya, alangkah bodohnya manusia itu!” Paman tampak amat sedih, jiwanya tertekan sungguh.

Sejak kecil aku telah hidup dengannya, semenjak orang tuaku mati jatuh kejurang, dua puluh enam tahun lalu. Dan kini, aku harus mempertaruhkan nyawaku untuk kegilaan pemimpin kami, juga orang-orang fanatik lainnya. Tentu dia menghawatirkan aku dengan amat sangat. Bisa saja hal ini terjadi, begitu aku menyerahkan surat dari Se Moljo Banahung pada Se Moljo Mapadong, serta merta akan memenggal kepalaku begitu selesai membaca isinya. Karena bukannya surat pernyataan ketundukan yang kubawa, tapi tuntutan ketaklukan. Perang akan segera dimulai.

“Kalau demikian Paman, apakah Ketab Se Lambok telah membohongi kita semua? Telah menggiring kita yang mensucikannya ke dalam jurang kematian?”

“Tidak anakku, tidak demikian anakku, tapi kitalah yang salah memahami kitab itu. Apa kau pikir menara Ka Borak adalah suatu menara seperti yang kalian pikirkan? Tidakkah kau mengerti bahwa itu hanyalah suatu perlambang?”

“Membangun menara menunjukkan pada suatu usaha tanpa henti yang amat melelahkan, sebuah pengorbanan. Pengorbanan apakah itu Anakku? Yaitu pengorbanan kebanggaan diri demi mempersatukan tubuh yang terberai, bukan menjatuhkan korban dari tubuh yang telah luka! Bukan Anakku. Menara Ka Borak bukanlah suatu bangunan seperti yang kau lihat, tapi ia adalah perlambang dari suatu perjuangan suci menyatukan Mota yang terberai.”



Ini bukan perangku, bukan perang kami para warga suku Mota Pedalaman, bukan pula perang warga suku Mota lainnya. Kami tidak ada urusan dengan kekuasaan! Kami tidak ada perlu dengan pengaruh dan perluasan wilayah, ini bukan perang kami, bukan! Ini adalah ambisi jahat mereka, ambisi para Se Moljo beserta para pembantu setianya. Dan kami, orang-orang yang tiada ambisi dengan segala macam penaklukan, terjebak dalam perangkap racun sari pati jubok yang mereka jilati siang malam. Dan, karena kami tidak boleh berpendapat, pada ahirnya, kami pun sama gilanya dengan mereka. Kami tahu, kami tidak pernah turut mencicipi sari pati jubok itu, tapi racunnya turut serta dalam aliran darah kami, karena apa yang kami yakini adalah apa yang para Se Moljo perintahkan untuk kami yakini. Perang yang hakikinya bukan milik kami pun ahirnya dengan membabi buta kami mamah masukkan ke dalam jiwa. Dan, semua manusia suku Mota kini masing-masing punya perang untuk dituntaskan. Kami seperti tersesat di lautan, lalu perahu bocor, perlahan-lahan, kami tenggelam dan mati sia-sia. Tubuh tak berdaya inipun perlahan terasinkan oleh dahsyatnya garam air laut, hingga tubuh ini kemudian bukan tubuh kami lagi. Dan yang menyedihkan, untuk orang seperti aku dan Paman, orang-orang yang masih waras dalam lautan kegilaan ini, semuanya berubah menjadi dilema yang menyakitkan.

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita mengintai-ngintai hendak menerkam sasat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu, aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kenanyakan tapi bahkan bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami.



Beratus-ratus lelaki bertubuh kekar dan legam berbaris tegak. Tangan kanan mereka ada yang mengenggam parang, tombak, dan pendulum berkepala besi berduri. Tangan kiri membawa perisai. Mata mereka tajam menatap ke depan. Di sebelah timur, matahari menerangi dataran batu yang amat luas ini.

“…suku Mota Pedalaman dan Pesisir telah berkhianat! Mereka membelakangi isi Ketab Se Lambok, mereka lupa jati dirinya! Mereka menyangkal bukti kebenaran menara Ka Borak. Maka, hari ini, hukuman bagi pembangkang akan di jatuhkan. Siapkah kalian untuk menjalankan tugas mulia ini? Melaksanakan perang yang akan membimbing kita pada jalan menuju kemulyaan dan kejayaan?”

Gemuruh manusia membahana. Debu putih membubung tinggi, beterbangan ke angkasa. Di sudut sana, berdiri tegak menara Ka Borak menyongsong langit, tersusun dari 124 kubus batu.

Brondong, 10 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar