Senin, 31 Mei 2010

Fuhlsbuettel, Hamburg

Sumber: Kompas, Edisi 02/02/2003

Fuhlsbuettel, Hamburg

Inilah perjalanan Berbi yang ketiga kalinya ke Tanah Air setelah tiga tahun bermukim dan memperdalam pengetahuan di negeri Goethe itu. Sebetulnya, Berbi merasa sayang juga dengan biaya yang dikeluarkan orangtuanya guna membeli tiket pesawat terbang Hamburg-Frankfurt-Jakarta-Frankfurt-Hamburg seharga 2.000 dollar AS lebih. Namun, kalau sudah ada keinginan orangtuanya, biasanya biaya menjadi tak relevan dipersoalkan.

Berawal dari sepucuk surat yang hinggap ke apartemennya beberapa hari yang lalu.

“Pulanglah segera begitu kamu menerima surat ini,” tulis ayah Berbi. “Ada hal penting yang hendak kubicarakan denganmu.”

Dalam surat tercatat dan pos udara itu juga disebutkan, “Ayah sudah membayar tiketmu pulang pergi dengan Lufthansa. Kontak saja agen Lufthansa di Moenckebergstrasse.”

Seperti biasa, ayah Berbi tak pernah menyebutkan hal penting apa. Kalau disebutkan dalam surat, barangkali Berbi akan menimbang-nimbang apakah ia akan pulang atau tidak. Jadi, ada kemungkinan ayah Berbi sengaja tak menyebutkan apa hal penting itu. Bukan untuk membuat Berbi penasaran, tetapi agar Berbi betul-betul pulang ke Jakarta. Agar Berbi menyempatkan diri pulang ke Graha Taman, ke rumah orangtuanya.

Lagi pula, kalau tiket sudah dilunasi, tentu akan jadi masalah jika Berbi tidak mudik. Jadi, Berbi memutuskan akan pulang saja ke Jakarta. Apa pun masalah penting yang akan dibicarakan sang ayah! Apa boleh buat meski Berbi merasa di-fait accompli ayahnya.

Meskipun salju belum turun, suhu udara di Hamburg terasa kian menggigit kulit. Apalagi ditambah dengan angin kencang. Pohon-pohon sudah mulai meranggas, pertanda musim gugur telah tiba. Daun-daun kuning bercampur coklat beterbangan ke mana-mana ditiup angin dan mendarat di trotoar dan jalan raya. Dalam satu-dua bulan, pohon-pohon di seluruh kota tentu akan gundul-gerundul. Pada bulan Maret tahun depannya, secara alamiah daun-daun pepohonan itu akan muncul kembali dan lama-lama kian merimbun pada musim panas.

Berbi mengancingkan jaketnya sembari menunggu panggilan keberangkatan untuk naik ke pesawat Lufthansa yang akan menerbangkannya ke Frankfurt. Di Frankfurt, Berbi akan berganti dengan pesawat Lufthansa berbadan besar yang akan melontarkannya dalam tempo 14 jam ke Cengkareng, Jakarta.

Rothenbaumchaussee, Hamburg 1

“Pulanglah segera….”

Begitu bunyi surat itu.

Berbi tahu betul bahwa itu tulisan tangan ayahnya.

Berbi masih tidak habis pikir, meski teknologi sudah maju pesat, ayahnya masih saja menulis surat dengan tulisan tangan. Tidak dengan mesin tik, apalagi dengan komputer. Tidak juga mengirim e-mail atau faksimile atau menelepon.

Ayah Berbi memang tergolong konservatif bin kuno dalam hal teknologi modern. Entah kenapa, ayahnya tidak mau menggunakan hasil peradaban modern itu.

Ketika Berbi bertanya suatu ketika mengapa begitu, sang ayah hanya mengatakan, “Dengan tulisan tangan rasanya lebih otentik dan lebih personal.”

Surat ini mirip telegram saja. Kalimatnya bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Berbi tahu, ayahnya tergolong paling malas menulis surat. Kalau toh terpaksa menulis surat, pastilah surat itu tidak akan panjang-panjang. Ayah Berbi agaknya ditakdirkan tidak punya bakat menjadi pengarang. Apalagi pengarang cerpen atau novel. Paling-paling hanya akan menjadi penyair, si hemat kata.

Di apartemennya, di Rothenbaumchaussee, Berbi masih berpikir-pikir apa gerangan yang akan dibicarakan ayahnya. Kenapa Ayah tidak mengangkat telepon saja? Kenapa harus bicara langsung dan harus tatap muka? Kenapa harus buang-buang uang sekian ribu dollar Amerika untuk tiket pesawat terbang Lufthansa bolak-bolik Jerman-Indonesia? Seberapa penting urusan yang akan diomongkan Ayah itu? Soal warisankah? Soal pasangan hidup Berbi-kah?

Rothenbaumchaussee, Hamburg 2

Memang, biaya penerbangan Hamburg-Frankfurt-Jakarta pulang pergi bukanlah masalah besar bagi ayah Berbi. Sebagai direktur sebuah perusahaan nasional, uang 2.000-an dollar Amerika untuk pulang pergi Jerman-Indonesia bukanlah jumlah besar bagi orangtua Berbi.

Namun, uang tetaplah uang bagi Berbi, seberapa pun kecil atau besarnya. Apalagi ia sudah terbiasa hidup hemat di negeri orang. Dua ribuan dollar tentu sangat besar, cukup untuk membayar apartemennya selama beberapa bulan. Oleh karena itu, ia masih berpikir-pikir apakah ia akan pulang atau tidak. Kalau pulang, untungnya apa? Kalau tetap di Hamburg, risikonya apa?

Di pihak lain, Berbi kasihan juga kepada ayahnya kalau ia tak pulang ke Tanah Air. Sebagai putri tunggal, ia mengerti perasaan ayahnya. Dengan siapa lagi ayahnya bicara kalau bukan dengan dia? Berbi menduga, pasti ada hal penting yang hendak disampaikan ayahnya. Kalau tidak, untuk apa ayahnya menyuruhnya pulang dan membelikan tiket pulang pergi segala?

Mudik 1

Sejak kuliah tiga tahun lalu di kota pelabuhan terbesar Jerman itu, Berbi sudah dua kali menerima surat serupa, yakni memintanya pulang dengan segera, “karena ada yang akan kubicarakan denganmu” (begitu selalu ayahnya).

Ketika Berbi belum lagi setahun di Hamburg, tahu-tahu dia menerima surat dari sang ayah.

“Pulanglah segera, ada yang akan kubicarakan denganmu.”

Hanya itu isi suratnya.

Persoalan yang ingin disampaikan kepada Berbi waktu itu adalah mengenai pengganti ibu Berbi.

“Teman-teman Ayah menyarankan agar Ayah menikah lagi,” kata sang ayah to the point ketika Berbi sudah tiba di Jakarta.

“Oh, ya.” Hanya itu komentar Berbi.

“Ayah ingin tahu, bagaimana pendapatmu.”

Berbi menatap mata ayahnya dalam-dalam.

Berbi agak bingung juga harus berkomentar apa dan bagaimana. Ia tidak siap menjawab. Ia tidak menyangka, pada usia yang berkepala lima ayahnya masih memikirkan pernikahan. Oleh karena itu, ia menjawab sekenanya, “Terserah Ayah sajalah….”

“Maksudmu bagaimana?”

“Maksudku, kalau Ayah memerlukan orang yang akan mengopeni Ayah, ya, apa salahnya menikah lagi. Sebaliknya, kalau Ayah merasa tidak membutuhkan pendamping lagi, ya, tentu tak perlu menikah lagi. Itu kan cuma akan menambah persoalan baru.”

Ayah Berbi terdiam sejenak. Oleh karena itu, Berbi menyambung, “Omong-omong, apa Ayah sudah punya calon…?”

Sebetulnya, Berbi merasa agak lancang juga mengucapkan kata-kata seperti itu. Cuma karena ayahnya sudah to the point, ia pun tak sungkan bertanya langsung.

Ayah Berbi menggeleng. Berbi menjadi heran karena ia pikir ayahnya sudah memiliki calon istri baru atau istri kedua.

“Lho, bagaimana sih Ayah ini?”

“Teman-teman Ayah di kantor, katanya, siap mencarikan kalau Ayah setuju menikah lagi.”

“Saya pikir, Ayah sudah punya calon….”

“Belum.”

Sejak kematian istrinya sepuluh tahun silam, Berbi-lah yang menjadi teman bicara dan teman diskusi ayahnya. Apa boleh buat, peran hati harus diterima Berbi-suka atau tidak suka.

Mudik 2

Surat semacam itu (”Pulanglah segera” atau “Segeralah pulang”) bukan kali ini diterima Berbi.

Pernah sekali Berbi disuruh pulang oleh ayahnya. Setiba di Jakarta, Berbi hanya dilapori bahwa sang ayah baru saja diperiksa dokter.

“Memangnya Ayah sakit?” tanya Berbi. “Kok periksa dokter segala?”

“Aku pikir, aku mengidap penyakit.”

“Lantas?”

“Setelah diperiksa dokter, ternyata aku dinyatakan sehat.”

“Lho, memangnya Ayah merasakan apa?”

“Rasanya Ayah enggak enak badan terus. Makan tak enak. Baca tak enak. Tidur tak enak, tak nyenyak. Badan serasa meriang sepanjang hari. Pada saat lain, badanku serasa gatal seluruhnya.”

“Tensi Ayah, bagaimana?”

“130/90.”

“Normal dong.”

Graha Taman 1

Kepulangannya kali ini ke Indonesia adalah yang ketiga kalinya. Pastilah ada hal penting yang akan dibicarakan Ayah, pikir Berbi. Kalau tidak, tentulah ia tidak akan memanggilku pulang.

“Aku punya firasat bahwa aku tidak lama lagi hidup,” kata sang ayah setelah Berbi tiba di rumahnya yang bernuansa Bali di Graha Taman, Jakarta.

“Maksud Ayah?”

“Maksudku, aku merasa sebentar lagi aku akan dipanggil-Nya.”

“Lho, memangnya Ayah sakit?”

Sang ayah membisu.

“Ayah mengidap penyakit berat?”

Sang ayah menggeleng.

“Ayah sakit jantung?”

Sang ayah menggeleng lagi.

Setelah tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan, Berbi mengubah cara bertanyanya.

“Kenapa Ayah merasa akan mati?”

Dengan enteng ayah Berbi menjawab, “Aku dapat firasat….”

Graha Taman 2

Keesokan harinya, ayah Berbi mengajak Berbi ke ruang kerjanya.

“Begini,” kata sang ayah. “Aku ingin, kalau aku mati nanti, kamu pasang iklan kematian untuk aku.”

Berbi agak heran dengan kata-kata ayahnya itu. Namun, agar tidak mengecewakan sang ayah, Berbi mengajukan pertanyaan, “Lho, Ayah ini bagaimana sih? Masih sehat begini kok sudah bicara iklan duka cita?”

“Tak apa-apa toh. Kita kan perlu bersiap-siap. Kata peribahasa, ’Sedia payung sebelum hujan’.”

Mereka terdiam sejenak.

Kemudian Berbi melanjutkan, “Rencana Ayah bagaimana?”

Ayah Berbi membuka sebuah map yang ada di mejanya.

“Aku ingin kamu ikut memilih judul iklan duka cita yang bagus,” kata ayah Berbi seraya mengeluarkan guntingan-guntingan iklan duka cita dari map.

Guntingan-guntingan itu diambil dari berbagai koran.

“Turut Berduka Cita”.

“Kabar Duka Cita”.

“Telah Dipanggil ke Rumah Bapak”.

“Telah Beristirahat dengan Tenang”.

“Telah Mendahului Kita”.

“Rest in peace”.

“R.I.P”.

Ayah Berbi meneruskan, “Aku ingin kamu memilih salah satu di antara bunyi iklan ini.”

“Kalau aku sudah pilih?”

“Nanti, kalau aku sudah mati, iklan seperti itulah yang kamu pasang di koran.”

Berbi terdiam.

“Kok Ayah ingin diiklankan, sih, kalau meninggal?”

“Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sudah mati. Teman-teman, kerabat, tetangga, dan bekas karyawanku tahu bahwa aku sudah mendahului mereka.”

Berbi manggut-manggut meski ia tak mengerti betul keinginan ayahnya itu.

Soekarno-Hatta, Cengkareng

Berbi masih terus bertanya-tanya kenapa ayahnya merasa akan mati dalam waktu dekat meski sang ayah tidak menderita penyakit apa pun. Firasat, kata ayahnya. Akan tetapi, apakah firasat itu harus dipercaya? Apakah firasat dapat dijadikan acuan kematian seseorang? Apakah firasat selalu benar?

Berbi juga masih bingung dengan permintaan ayahnya mengenai bunyi iklan duka cita seandainya ayahnya betul-betul meninggal dunia. Berbi tidak tahu persis mana yang bagus di antara judul iklan duka cita yang disodorkan sang ayah padanya: “Turut Berduka Cita”, “Berita Duka Cita”, “Kabar Duka Cita”, “Rest in Peace”, “Telah Beristirahat dengan Tenang”, “Telah Mendahului Kita”, “Telah Dipanggil ke Rumah Bapak”, atau “R.I.P”. Mana yang paling bagus? Berbi tidak tahu.

Berbi hanya berjanji, “Kalau aku sudah sampai di Hamburg, aku segera kabari Ayah”

Dengan kata-kata itu, Berbi sebetulnya hanya mengulur waktu. Di pihak lain, dan ini sebetulnya yang tidak mengenakkan, Berbi merasa rikuh membicarakan iklan duka cita, sementara orang yang akan diiklankan masih sehat walafiat. Apalagi orang yang meminta iklan itu adalah orangtua Berbi sendiri. Bagaimana mungkin membicarakan iklan duka cita kalau orang yang bersangkutan masih segar bugar? Gendheng apa?

Ruang tunggu Keberangkatan Luar Negeri makin disesaki calon penumpang yang akan terbang ke Frankfurt dengan pesawat Lufthansa LH-747.

Ketika dari pengeras suara terdengar suara empuk wanita, “Para calon penumpang dengan tujuan Frankfurt dengan nomor penerbangan LH-747 dipersilakan naik ke pesawat terbang melalui Gate 1″, Berbi pun beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah berat, Berbi menuju Gate 1. Masih terngiang-ngiang kata-kata ayahnya, “Pilihlah judul iklan yang paling bagus….”

Ketika Berbi sudah berada di langit Jakarta, ia belum bisa memilih salah satu di antara judul iklan yang disodorkan ayahnya.

“Nanti aku kabari Ayah lewat telepon, atau surat, atau e-mail, atau telegram, atau faksimile, iklan mana yang kupilih,” katanya kepada sang ayah. “Pokoknya, kalau sudah sampai waktunya, tentu akan aku pasang iklan di semua koran.”

Ayah Berbi senang mendengar kata-kata putri kesayangannya itu.

Graha Taman 3

Seminggu setelah kepulangan Berbi ke Hamburg, pada suatu malam ayah Berbi terpaku di tempat duduknya menyaksikan siaran CNN. Menurut berita CNN, sebuah kecelakaan mengerikan telah menimpa rombongan mahasiswa Universitas Hamburg yang mengadakan karyawisata ke Roma. Bus yang ditumpangi oleh para mahasiswa itu masuk jurang dalam perjalanan menuju Milan, Italia. Semua penumpang bus meninggal dunia, termasuk sopir bus. Salah seorang mahasiswi yang meninggal itu berasal dari Indonesia, Berbi namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar