Senin, 31 Mei 2010

Vaginalia

Oktober 9th, 2008 by prince-adi

Saya sudah sering dihina dan terhina. Jadi sudah biasa kalau kamu mengernyitkan dahi, mempertanyakan, (atau malah) menertawakan nama saya. Sebab nama saya Vaginalia. Asli dari akte lahir, murni pemberian kedua orang tua saya. Silahkan kalau kamu mau tertawa. Toh sudah biasa.
Kamu mengenalkan namamu sebagai Muhammad. Nama yang bagus, dan agung. Sebab namamu itu, juga nama nabi yang paling diagungkan. Yang dijuluki Al-Amin, artinya dapat dipercaya. Diteladani banyak manusia, termasuk saya. Sebab katanya akan mendapat pahala jika saya memuji namanya, mendapat sesuatu yang bernama ‘Syafa’at’ di kehidupan akhirat.

Nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Sebab itulah saya percaya sama kamu.

*****



Saya masih perawan, belum kawin. Orang-orang seringkali merendahkan harga diri saya sebab nama saya Vaginalia. Mendekati saya dengan alasan nafsu saja. Saya benci. Saya jijik. Sebab saya juga perempuan baik-baik. Mendambakan laki-laki yang baik-baik. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang menilai saya dengan harga. Pernah saya ditawar dua juta untuk sebuah malam bersama dengannya. Saya tidak mau. Meski saya miskin, saya punya harga diri. Saya benar-benar tersinggung. Saya tampar dia, dan dia memaki saya. Mengatakan saya hanya jual mahal. Padahal saya benar-benar tak mau dibeli, dengan harga berapapun yang kamu beri.

Nama kamu Muhammad. Saya suka perilakumu terhadap saya. Kamu menemani saya duduk di sebuah kantin. Memesan dua mangkok bakso; satu buat kamu, satu buat saya.

“Saya yang traktir,” katamu sambil tersenyum merekah.

Saya bahagia, kamu mau duduk di samping saya. Mau berbicara dengan saya meski tatapan curiga mengarah ke arah kita berdua. Sebab nama saya Vaginalia. Vagina, nama organnya wanita. Barang yang sudah banyak diobral murah. Itu untuk kelas biasa, limapuluh ribu semalam. Bisa juga sampai ratusan juta. Tergantung jaminan kepuasan yang diberikan. Tapi sekali lagi, saya tidak seperti itu. Saya wanita baik-baik, mendambakan laki-laki baik-baik.

Nama kamu Muhammad. Dan kamu memanggil saya “Va”. Saya tidak menolak. Saya justru senang. Sebab kamu teman pertama saya. Kamu selalu sabar menemani saya meski mereka masih menatap curiga.

Nama kamu Muhammad. Dan segalanya telah berubah menjadi kamu. Saya jatuh cinta sama kamu. Tapi apa saya pantas untuk mencintai dan dicintai? Saya tidak berharap lebih. Saya sudah cukup senang dengan keberadaan kamu sebagai teman saya. Sampai bulan kedua, kamu mendadak muncul di depan pintu kostan saya. Padahal hujan sedang deras. Kamu basah kuyup. Belum sempat saya ambilkan handuk, kamu sudah memegang tangan saya. Dan kamu ungkapkan cinta. Kamu tahu, itu pertama kalinya tangan saya digenggam laki-laki. Tapi saya bahagia. Karena itu kamu. Terlebih kamu mengatakan cinta. Mimpi yang menjadi nyata. Sejak itu kita pacaran.

Satu bulan.

Dua bulan.

Kita masih hanya berpegangan tangan. Sebab saya tak mau macam-macam. Belum waktunya. Sebab saya tahu bahwa zinah adalah dosa besar. Sama saja dengan menyekutukan Tuhan. Toh saya cukup bahagia dengan berpegangan tangan.

*****



Saya cantik, katamu.

Malam itu saya membiarkan kamu mencium bibir saya. Saya hanya mampu memejamkan mata. Sementara bibirmu terus melumat bibir saya. Saya takut. Benar-benar takut. Sebab saya tahu ini dosa. Tapi kamu terlalu mempesona, membuat saya tidak berdaya. Sebab sebelumnya kamu memasangkan cincin di jari saya, kembali mengatakan cinta, dan berjanji akan menikahi saya.

Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika tanganmu mulai menelusup di balik kemeja saya. Mengelus tubuh saya. Saya ingin katakan jangan, tapi bibir saya kamu bungkam begitu nakalnya. Saya mulai menangis, tapi kamu dengan hebatnya kembali mengatakan cinta, menenangkan hati saya.

Tiba-tiba hari telah pagi. Menyaksikan kamu tanpa busana, begitu pula saya. Ada bercak darah di sana. Saya menangis. Sebab saya tahu, saya tidak lagi perawan. Tapi lagi-lagi kamu memeluk saya, mengecup kening saya, berjanji menikahi saya. Saya percaya. Sebab nama kamu Muhammad.

*****



Berkali-kali setelah itu kamu melakukan hal yang sama. Saya ingin menolak. Benar-benar ingin menolak. Tapi kamu begitu pintar untuk memancing hasrat saya keluar, tanpa malu, tanpa bisa lagi memikirkan bahwa kita adalah pendosa yang tidak akan diterima ibadahnya. Dan neraka balasannya. Sebab namu kamu Muhammad, saya percaya kamu akan menikahi saya.

*****



Bulan keenam kamu mengatakan perpisahan. Tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kamu benar-benar pergi meninggalkan saya, seperti angin. Tak tertinggal suatu apapun kecuali membawa debu melekat pada tubuh saya. Padahal kita sudah pernah bercinta dengan dosa, berkali-kali. Tapi kamu tetap tak menggubris itu semua. Akhirnya kamu mengatakan bosan kepada saya. Dan saya hanya bisa tertawa. Tertawa akan kebodohan saya mempercayai kamu selama ini.

Padahal nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Tapi mungkin setan-setan yang kegirangan memujimu. Sedangkan saya lebih memilih menghujatmu, melaknatmu. Tapi saya akhirnya sadar, sia-sia saya melakukan itu.

*****



Kamu tahu dimana saya berada saat ini?
Penjara!

Saya membunuhi Muhammad, satu per satu. Di jalan, di keramaian, atau di tempat remang-remang yang menjajakan kebahagiaan. Saya mencari Muhammad. Muhammad mana saja yang matanya belingsatan melihat kecantikan saya.
Dan lagi-lagi saya menyebut Muhammad, merindukan Muhammad yang pernah saya puji. Sebab ia orang yang terpuji. Yang pernah begitu saya teladani. Tidakkah kamu mengerti?

The Tower of Ka Borak

The Tower of Ka Borak

Desember 26th, 2008 by catur amrullah

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita mengintai-ngintai hendak menerkam saat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu, aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kebanyakan, tapi bahkan bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami, suku Mota Pedalaman.



Ratusan orang berkumpul di tanah lapang. Matahari baru mengintip dari celah bukit. Sinarnya hangat sedikit. Semua mata terpacak pada sosok menggetarkan yang tegak menjulang di ujung timur lapangan. Hitam berkilau karena embun yang berkelip dilanun semburat matahari melamur seluruh tubuhnya. Menara besar dari dua kayu ulin yang disambung berukir ular gato menelan matahari. Sisiknya besar-besar bertumpuk. Menara itu, menara Ka Borak. Bukti kekuasaan atas Tanah Mota.

“Ini seperti dalam mimpi para peramal, benar! Tepat sekali! Inilah menara Ka Borak, bukti penguasa Tanah Mota yang dinanti!” Seorang sepuh di antara kerumunan bersuara. Suaranya yang parau hilang tenggelam dalam kegaduhan massa. 1320 warga suku berkumpul di sini, menyaksikan menara Ka Borak yang selama sembilan bulan ini dengan susah mereka buat-dirikan.

Di depan menara, dibangun sebuah mimbar besar, tinggi, dan anggun. Penuh dengan ukiran ular Gato yang meliuk-liuk, melata dan melingkar, menelan matahari; simbol keagungan suku Mota. Seorang lelaki tinggi besar, kulit coklat mengkilat memakai jubah kulit kijang, naik ke mimbar. Tongkat kayu setiginya dihentaknya beberapa kali ke lantai mimbar. Dentamnya menggema mengatasi kegaduhan orang-orang. Seketika tanah lapang itu jatuh sepi, tak ada suara manusia terdengar. Kelengangan yang mistis menyelisik di tiap-tiap tubuh, detak jantung seseorang seakan tertangkap telinga orang di sebelahnya. Semua mata tertuju pada lelaki di atas mimbar itu. Dialah Se Moljo Banahung, ketua suku kami, pemimpin spiritual sekaligus penentu jalan hidup kami.

Tenang sekali. Kicau burung di pohon riuh menanti.

“Wahai orang Mota, persaksikanlah, di depan kalian telah tegak bukti yang dikabarkan dalam Ketab Se Lambok, menara Ka Borak. Menara yang membuktikan bahwa pendirinya adalah penguasa sejati atas Tanah Mota. Bahwa yang membangunnya adalah lelaki yang dijanjikan akan datang dan membawa keagungan, bahwa pendirinya adalah lelaki darah murni yang akan meletakkan suku Mota Pedalaman, suku Mota Pesisir, dan suku Mota Tanah Batu berada di bawah tongkat kekuasaannya. Wahai orang Mota Pedalaman, kalian adalah darah murni suku Mota. Kalian ditakdirkan menjadi pasukan pemersatu suku-suku Mota yang terpencar. Kalianlah penggenggam masa depan itu, menara Ka Borak yang kita dirikan ini menjadi saksi atas kejayaan yang dijanjikan itu. Kita adalah penguasa Tanah Mota!” pekik semangat Se Moljo Banahung menggema-gema dalam tempurung kepala tiap orang yang hadir di situ, dan, seperti ada suatu komando bawah sadar yang amat kuat mengendalikan mereka semua, serentak pekik gegap gempita membahana dari mereka itu.

“Hidup Se Moljo Banahung! Hidup Se Moljo Banahung!”

1320 macam suara memekik satu kalimat yang sama, 1320 jenis kepalan tangan mengacung ke angkasa. 1320 macam semangat melebur menjadi satu ambisi kolektif. Semua itu, 1320 manusia itu, menggumpal ke dalam satu tekad yang amat keras, sekeras menara Ka Borak dari kayu bullin yang tegak di depan mereka, tak bisa ditawar-tawar. Suku Mota Pedalaman telah berhasil menegakkan menara Ka Borak, sebuah menara berukirkan ular gato menelan matahari yang menjadi bukti bahwa pendirinya adalah suku yang berhak memerintah dua suku Mota lainnya, sebagaimana tercantum dalam Ketab Se Lambok, kitab spiritual suku Mota. Dengan ini, suku Mota Pedalaman telah-dengan sepihak-menetapkan ketunggalan kekuasaannya atas dua suku Mota lainnya.

Dalam gemuruh euphoria kekuasaan dan kemenangan yang menari-nari di pelupuk mata, pekik lantang Se Moljo Banahung merengkah:

“Mulai besok, kita akan mengirim utusan pada suku Mota Pesisir dan Tanah Batu, mengabarkan bahwa pemimpin tunggal telah tiba, bahwa mereka kini harus tunduk patuh di bawah tongkat kekuasaan suku Mota Pedalaman. Bukan hanya itu, kita juga akan menundukkan suku-suku lain di sekitaran Tanah Mota. Dan kita, seperti yang dijanjikan dalam Ketab Se Lambok, akan menundukkan matahari!”

Pekik gelora semangat perebutan kekuasaan berkobar menggelegak. Mengema menggetarkan tanah dan batang pohonan. Burung-burung beterbangan ketakutan, berhamburan kacau balau dari dahan tempatnya bertengger. Kera berlompatan dari cabang ke cabang. Harimau dan serigala bersijingkat kabur ke pelosok-pelosok hutan. Kumandang semangat 546 warga suku Mota Pedalaman menggentarkan nyali tiap penghuni hutan, mengabarkan pada semua bahwa kekuatan dan penguasa baru telah datang.

“Sedangkan siapapun itu yang menolak dan menentang kekuasaan kita yang agung ini, maka tiada lain pilihan, kita, suku Mota Pedalaman, tidak akan mendiamkannya begitu saja. Tahukah kalian jawaban bagi pembangkang? Yaitu…..”

Suara lantang Se Moljo Banahung tenggelam dalam gemuruh suara warga sukunya, ‘hidup Se Moljo Banahung!’ Nyaring mendebarkan jantung. Tangan-tangan terkepal diangkat tinggi-tinggi ke angkasa. Menyiratkan tekad dan ambisi yang membuncah. Di barisan belakang, aku tergetar menyaksikan semua prosesi ini. Aku tak bisa bersuara, bukannya ikut larut dalam badai semangat yang dahsyat, tapi terjebak di suatu sudut yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. Aku berkeringat dingin.

“Mereka takkan berhenti, takkan bisa dicegah, takkan terbendung oleh apapun. Menara Ka Borak telah membius meraka, dan darah….. akan tercecer di tiap jengkal Tanah Mota!”



Semakin membuncah semangat di sekelilingku, semakin terkucil aku dalam sudut takut dan khawatir yang kian runcing. Di sekeliling kami, hutan rimbun mengitari dengan amat rapatnya. Di ujung barat lapangan, di belakang jajaran rumah panggung, terlentang jalan setapak yang panjang berkelok menyusur di antara pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Di ujungnya, jalan setapak itu menurun, terus menurun, berputar-putar mengelilingi punggung gunung, membawa kita pada sebuah lereng yang landai, luas membentang. Angin berembus kencang di sini. Ujung bajumu akan berkibar-kibar semarak dibuatnya. Di depanmu, menghampar padang rumput amat luas terbentang, hijau bergelombang oleh rumputan yang digoyang angin, seakan tak bertepi. Nun di hujung barat sana, warna biru terhampar di bawah cakrawala, batas bentangan laut lepas. Berjalab lurus menyeberang lembah, terus ke barat, akan sampailah ke pantai dengan hamparan pasir putihnya. Rumah-rumah dari jalinan batang bambu berderet rapi. Di sebelah tenggara, tebing batu cadas memagar. Merentang sepanjang bibir pantai. Tebing cadas yang telah tegak sedari jutaan tahun lalu, menghadang dentaman gelombang dan badai yang menyerbu dari tengah laut sana. Menjadi saksi dari tiap perahu nelayan yang karam diamuk lanun ditelan topan, menjadi candi dari tiap perpindahan generasi manusia yang hidup si situ. Kaki tebing itu menceruk jauh kedalam, aus karena gesekan gelombang selama masa berjuta tahun. Di bawah tebing itu, menghampar pantai berbatu dan berpasir hitam seperti lumpur, luas membentang. Batu-batu yang menjadi rumah bagi tiram, kerang, jangkang, dan ribuan lagi lainnya.

Sejarah yang mungkin tak termaafkan, atau mungkin yang ‘kan paling diagungkan oleh mereka, terjadi di situ; sembilan hari lalu. Sebelum hari itu, hampir setahun penuh, denting suara pahat besi menghantam batu cadas memecah ketenangan pantai, menyelisik antara debur ombak di bongkahan batu. Tiga puluh orang bergelantungan di dinding tebing batu cadas dengan tubuh terikat tali dari atas. Masing-masing menggenggam sebuah pahat besi terkuat yang ada, dan sebuah palu. Kesepuluh orang itu, para pemahat terbaik suku Mota Pesisir, tanpa kenal lelah bekerja dari pagi hingga sore. Sedikit demi sedikit memahat tebing batu cadas, mengukir suatu rupa yang luar biasa. 500 pahat telah rusak dan remuk, 467 palu pun patah. Mereka, atas instruksi Se Moljo Mapadong, kepala suku Mota Pesisir, mengukir suatu simbol paling sakral yang tercantum dalam Ketab Se Lambok. Symbol kejayaan dan kekuasaan. Ular gato menelan matahari, menara Ka Borak, simbol atas kedatangan sang pemimpin yang dinanti.

Sembilan hari yang lalu, semua orang suku Mota Pesisir berkumpul di depan tebing batu cadas itu. 1543 orang. Mereka menatap takzim tebing cadas yang kini tak lagi polos. Seekor ular gato raksasa melata dengan ganas, meliuk-liuk tak terbendung, mulutnya menganga lebar, menelan matahari. Semua nafas tertahan-tahan. Di depan mereka, menara Ka Borak. Samudera di belakang punggung orang-orang itu seakan membeku disihir aura magis menara luar biasa itu. Semuanya takzim; gelombang, angin, batu, kerang, kepiting, pun manusia. Larut dalam keterpesonaan.

“…lima lautan telah kita jelajah, tak ada sisa lagi yang belum kita datangi.” Se Moljo Mapadong berorasi di hadapan mereka, di atas sebuah batu karang hitam persegi sebesar kerbau. “Badai dan topan samudera tak kuasa membunuh kita! Gelombang dan pasang kita taklukkan! Di setiap pantai ada jejak kaki kita, kekuatan kita terkhabar kesetiap penjuru Tanah Mota, maka siapa lagi yang lebih kuat dari kita?” Suara menggelegarnya bependar-pendar memantul terbentur hamparan tebing cadas, terlempar jauh-jauh ke tengah samudera tak bertepi. Dibawa angin ke buritan tiap perahu yang tengah berlayar, dipatuk burung dibawa kepulau-pulau di seberang sana. Semua yang di situ berseru serempak:

“Tidak ada! Suku Mota Pesisir terkuat! Se Moljo Mapadong terkuat!” Gemuruh ini hampir-hampir membenamkan pantai berbatu itu.

“…Menara Kaborak telah kita buat, ramalan Ketab Se Lambok telah kita wujudkan, dan, kekuasaan dan kekuatan yang dijanjikan telah datang ke suku kita, kemenangan dan kemulyaan telah masuk pintu-pintu rumah kita!!!”

“Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup…”

“…dan kita akan taklukkan seluruh Tanah Mota! Semua akan kita kuasai! Semua akan tunduk! Akan kita miliki! Semua…”



Sorak sorai 1543 orang Mota Pesisir terbang membubung ke angkasa, menggiring potongn-potongan awan ke batas cakrawala, melesat jauh ke tengah samudera membentuk gelombang-gelombang ambisi, keras menghantam tebing cadas dan berulang-ulang menggema. Orang-orang terbius oleh semacam zat adiktif kekuasaan yang mengerikan. Melonjak-lonjak kegirangan. Berteriak-teriak kalap. Di depannya, pada tebing cadas, menara Ka Borak diam membeku. Ular gato yang besar, panjang, liar, meliuk-liuk, hitam gelap penuh misteri, gelap yang menekan dan mnyelubung, gelap yang senantiasa datang pada tiap penghujung senja, menempatkan aku sendiri termangu di bawah pohon randu di belakang rumah. Menyembunyikan dalam malam. Aku tak berkedip, menatap bulan sabit seperti anak kecil lagi sakit. Angin yang berputar-putar menerbangkan daunan gugur juga helai rambutku.

“Ini salah! Tidak boleh begini kita berada Paman, ini salah! Lakukanlah sesuatu!”

Lelaki tua di sebelahku itu hanya diam. Dari tadi dia hanya menunduk, menatap-sepertinya-jemari kakinya yang tersembunyi dalam pekatnya malam tengah hutan.

“Mota Pedalaman telah membangun menara Ka Borak, dan sembilan hari yang lalu, Mota Pesisir rampung mengukir Ka Borak di dinding tebing batu cadas. Paman, keduanya mengklaim sebagai sang Pemimpin yang dinanti, tak bisa ditawar lagi!” Suaraku lirih bersama hembus perih. Di kejauhan, burung hantu menangis sendu.

“Bagaimana dengan Mota Tanah Batu? Bukankah Ka Borak telah mereka dirikan jauh hari sebelum kita dan sebelum Mota Pesisir.” Paman bertanya, dan jelas sekali ada selendang gelisah yang melingkari suara beratnya itu.

“Ya, semenjak lima belas bulan lalu mereka telah menggergaji bukit batu putih. Mereka membuat kubus-kubus batu raksasa, mengukirnya, menyusunnya, menjadikannya ancaman bagi yang lain. 124 kubus batu, disusun setingngi 22 depa, berukir ular gato yang tengah menelan matahari. Menara Ka Borak paman. Dan sekarang, masing-masing suku Mota punya Ka Borak!”

Tak ada jawaban, hanya desah nafas berat yang makin mengerikan dia jawabkan. Pundaknya makin jatuh, kepalanya tunduk seakan bertengger di atasnya hantu keputusasaan. Beban berat yang hampir dua tahun ini dia tanggungkan sampai sudah pada titik kulminasinya. Dua tahun dia berusaha menjelaskan bahwa pendirian menara Ka Borak hanya akan mengundang kehancuran Tanah Mota.

“Ah, tak kuiura Paman, tak kukira engkau akan sebenar ini. Lima belas bulan lalu, ketika Mota Tanah Batu mulai menggergaji batu pertama menara Ka Borak, engkau tahu bahwa itu adalah awal dari kebinasaan kita. Ah, tiada kukira engkau akan sebenar ini Paman, tiada kukira Paman!…”

Aku diam lagi, tak sanggup meneruskan ketakutanku, sepi sekali. Kemana burung hantu? Jangkrik pun bungkam, lalu di pelosok hutan yang jauh merusuk ke dalam, serigala melolong-lolong, menjerit-jerit kesepian.

“Anakku,” Paman bicara, lemah semilir suaranya, “kekuasaan itu seperti sari pati jubok. Sekali kau mencicipi, kau tak bisa berhenti, terus dan terus tak terkendali menjilati sari itu. Sampai baru kemudian, setelah terlambat, kau tahu bibirmu membiru, perutmu panas, tenggorokanmu pahit, dan kau langsung tergeletak tanpa sempat beranjak dari tempatmu berada saat itu. Kekuasaan mengumpan dan meracuni siapapun itu anakku.”

Paman kembali diam. Tangannya mengambil sesuatu dari sebelahnya. Sebuah kitab yang dalam keremangan tampak amat tua tapi amat kuatnya aura sakralnya. Beliau memegangnya erat, seakan ia bisa melarikan diri dari tangannya.

“Begitu seseorang mencicipi kekuasaan selebar daun, dia akan menuntut yang sebesar batang pohon, dan besok akan meminta yang seluas hutan, hingga nanti hanya kematianlah yang akan memotong nafsu serakahnya. Dan, menara Ka Borak, kau tahu apa sebenarnya menara Ka Borak itu anakku?” Aku hanya diam, tak berani menjawab.

“Menara Ka Borak, dalam waktu yang bersamaan, dia juga adalah sari pati jubok, yang meracuni siapa saja yang mencicipinya!”

Aku kaget, tak terbayang paman akan mengumpamakan menara Ka Borak sebagai saripati jubok bagi manusia, menyamakan simbol suci itu dengan tanaman beracun paling mematikan di hutan ini.

“Anakku, awalnya orang-orang Mota tinggal di Tanah Batu, tanah leluhur kita. Lalu mereka berpencar setelah jumlah mereka semakin banyak. Anehnya, hal itu sudah termaktub dalam Ketab Se Lambok. Sebagian pergi ke pesisir, jadilah suku Mota Pesisir. Sebagian yang lain pergi ke pelosok hutan, jadilah suku Mota Pedalaman. Masing-masing mereka berjanji akan terus menjaga persaudaraan, saling melindungi, dan, tentu saja mereka membawa Ketab Se Lambok. Tapi itu kejadian entah berapa ratus tahun yang lampau anakku. Masing-masing suku Mota bertambah besar, bersaing, berebut pengaruh, dan pernah saling serbu, itu kejadian saat kakekku masih belia.”

Paman membuka Ketab Se Lambok. Hitam tiap halamannya, tulisannya tersembunyi dalam gelap pekatnya malam.

“Apa kau sudah faham sekarang anakku mengapa menara Ka Borak berdiri di masing-masing suku?”

Aku mengangguk. Ya, tentu saja, kekuasaan adalah sari pati jubok. Dan sekarang, sari patu jubok itu menampakkan dirinya dalam wujud yang paling menakutkan, menara Ka Borak. Masing-masing suku Mota ingin menjadi penguasa tunggal Tanah Mota, memimpin dua suku Mota lainnya dan menguasai suku-suku kecil lain. Mengajak warga suku berperang bukanlah cara yang tepat jika ingin mendapatkan dukungan penuh dari mereka, para pemimpin suku itu butuh legitimasi sakral, butuh stempel perijinan suci yang akan dijalankan mati-matian oleh tiap warga sukunya. Dan, tanpa ada yang menyadarinya sebelumnya, solusi itu ternyata ada di dalam Ketab Se Lambok. Di dalamnya tertulis bahwa ketika suku Mota menjadi tubuh yang terpisah, seorang lelaki darah murni akan muncul demi menegakkan menara Ka Borak. Menara yang berpahatkan ular gato sedang menelan matahari. Maka ikutilah dia, taatilah dia, karena lelaki yang mendirikan menara Ka Borak adalah orang yang di tangannya persatuan tubuh suku Mota tergenggam. Dan kenyataanya kini, tiap-tiap suku Mota memiliki menara Ka Borak. Masing-masing pimpinan dari suku tersebut mengklaim dirinya sebagai lelaki darah murni seperti yang dijanjikan dalam Ketab Se Lambok. Akulah sang penguasa tunggal Tanah Mota! Akulah sang pemersatu! Akulah raja kalian! Dan suku-suku lainnya harus tunduk taat, jika berani menentang, tidak segan-segan perang penaklukan akan di gelar di atas Tanah Mota. Darah akan dialirkan di padang-padang sunyi tiap penjuru Tanah Mota yang suci.

Aku tertegun. Gambaran kehancuran suku-suku Mota dalam perang saudara yang dahsyat dengan amat nyata berkilatan dalam kegelapan malam yang melingkupi tubuh kami. Setiap suku mengaku yang paling benar, dan, nafsu kekuasaan telah tersulut terbakar.

“Besok kau akan menjalankan tugas terberat dalam hidupmu, berhati-hatilah. Kau tentu tahu Mota Pesisir telah mengirim utusannya kepada kita empat hari yang lalu, mengabarkan keberadaan menara Ka Borak di tanah mereka, meminta ketaatan dan ketundukan kita, tapi kini, malah kita yang mengirim utusan pada mereka untuk meminta hal yang mereka tuntut dari kita. Aduhai Anakku, alangkah bodohnya, alangkah bodohnya manusia itu!” Paman tampak amat sedih, jiwanya tertekan sungguh.

Sejak kecil aku telah hidup dengannya, semenjak orang tuaku mati jatuh kejurang, dua puluh enam tahun lalu. Dan kini, aku harus mempertaruhkan nyawaku untuk kegilaan pemimpin kami, juga orang-orang fanatik lainnya. Tentu dia menghawatirkan aku dengan amat sangat. Bisa saja hal ini terjadi, begitu aku menyerahkan surat dari Se Moljo Banahung pada Se Moljo Mapadong, serta merta akan memenggal kepalaku begitu selesai membaca isinya. Karena bukannya surat pernyataan ketundukan yang kubawa, tapi tuntutan ketaklukan. Perang akan segera dimulai.

“Kalau demikian Paman, apakah Ketab Se Lambok telah membohongi kita semua? Telah menggiring kita yang mensucikannya ke dalam jurang kematian?”

“Tidak anakku, tidak demikian anakku, tapi kitalah yang salah memahami kitab itu. Apa kau pikir menara Ka Borak adalah suatu menara seperti yang kalian pikirkan? Tidakkah kau mengerti bahwa itu hanyalah suatu perlambang?”

“Membangun menara menunjukkan pada suatu usaha tanpa henti yang amat melelahkan, sebuah pengorbanan. Pengorbanan apakah itu Anakku? Yaitu pengorbanan kebanggaan diri demi mempersatukan tubuh yang terberai, bukan menjatuhkan korban dari tubuh yang telah luka! Bukan Anakku. Menara Ka Borak bukanlah suatu bangunan seperti yang kau lihat, tapi ia adalah perlambang dari suatu perjuangan suci menyatukan Mota yang terberai.”



Ini bukan perangku, bukan perang kami para warga suku Mota Pedalaman, bukan pula perang warga suku Mota lainnya. Kami tidak ada urusan dengan kekuasaan! Kami tidak ada perlu dengan pengaruh dan perluasan wilayah, ini bukan perang kami, bukan! Ini adalah ambisi jahat mereka, ambisi para Se Moljo beserta para pembantu setianya. Dan kami, orang-orang yang tiada ambisi dengan segala macam penaklukan, terjebak dalam perangkap racun sari pati jubok yang mereka jilati siang malam. Dan, karena kami tidak boleh berpendapat, pada ahirnya, kami pun sama gilanya dengan mereka. Kami tahu, kami tidak pernah turut mencicipi sari pati jubok itu, tapi racunnya turut serta dalam aliran darah kami, karena apa yang kami yakini adalah apa yang para Se Moljo perintahkan untuk kami yakini. Perang yang hakikinya bukan milik kami pun ahirnya dengan membabi buta kami mamah masukkan ke dalam jiwa. Dan, semua manusia suku Mota kini masing-masing punya perang untuk dituntaskan. Kami seperti tersesat di lautan, lalu perahu bocor, perlahan-lahan, kami tenggelam dan mati sia-sia. Tubuh tak berdaya inipun perlahan terasinkan oleh dahsyatnya garam air laut, hingga tubuh ini kemudian bukan tubuh kami lagi. Dan yang menyedihkan, untuk orang seperti aku dan Paman, orang-orang yang masih waras dalam lautan kegilaan ini, semuanya berubah menjadi dilema yang menyakitkan.

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita mengintai-ngintai hendak menerkam sasat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu, aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kenanyakan tapi bahkan bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami.



Beratus-ratus lelaki bertubuh kekar dan legam berbaris tegak. Tangan kanan mereka ada yang mengenggam parang, tombak, dan pendulum berkepala besi berduri. Tangan kiri membawa perisai. Mata mereka tajam menatap ke depan. Di sebelah timur, matahari menerangi dataran batu yang amat luas ini.

“…suku Mota Pedalaman dan Pesisir telah berkhianat! Mereka membelakangi isi Ketab Se Lambok, mereka lupa jati dirinya! Mereka menyangkal bukti kebenaran menara Ka Borak. Maka, hari ini, hukuman bagi pembangkang akan di jatuhkan. Siapkah kalian untuk menjalankan tugas mulia ini? Melaksanakan perang yang akan membimbing kita pada jalan menuju kemulyaan dan kejayaan?”

Gemuruh manusia membahana. Debu putih membubung tinggi, beterbangan ke angkasa. Di sudut sana, berdiri tegak menara Ka Borak menyongsong langit, tersusun dari 124 kubus batu.

Brondong, 10 Mei 2008

Perempuan Tepi Mekong

Perempuan Tepi Mekong

Oktober 7th, 2008 by radiani

Ayolah! Coba kau cari di mana airmata kesedihanku tersimpan! Kau tak kan pernah menemukannya. Karena aku sendiripun tak tahu dimana letak airmata kesedihanku. Kalau airmata tawa aku punya berliter-liter. Tiap malam mengucur deras dari sudut mataku sebanyak botol Lau Lao yang kutengak. Minuman alkohol kelas rakyat khas Laos itu menghangatkan tubuhku dari terpaan angin sungai Mekong. Tanktop dan rok mini tipisku serasa bagai gumpalan selimut bulu domba. Lau Lao selalu menguatkan hari-hariku di sudut kota Vientiane yang ramai ini. Satu-satunya bagian kota yang selau ramai dengan kehidupan malam. Bagian kota yang lain sudah sepi seperti pemakaman Prancis yang megah dengan nisan berpilar pualam. Minuman keras itu menjaga tawa dan kegembiraanku setiap hari. Hingga tak kukenal lagi kesedihan. Airmataku hilang tiap bulirannya melayang entah ke alam apa.

Atau aku terlahir dengan hati batu, hawa salju. Seumur hidupku tak kurasakan airmata kesedihan. Tak pernah kurasakan hangatnya tetesan mengalir hangat merambati pipiku. Berakhir di ujung dagu. Seperti apa warnanya? Berkilauankah bagai bulir permata menggelinding dari mata, atau kehitam-hitaman tercemar eyes shadow? Airmata tawaku kehitam-hitaman, sengak bau alkohol.

“Sabai dee, phii huk! ( Apa kabar sayang!)” Seorang Thailand menyapaku. Sapaan itu adalah ajakan untukku. Uh! hari masih terlalu pagi untuk masuk kamar lagi. Keluasan langit malam ini baru saja kurasakan. Kebebasan udara belum lama kuhirup penuh-penuh. Paru-paruku rasanya belum setengah terisi. Aku bangun jam empat sore. Santai-santai berdandan mematut-matut wajah di potongan cermin retak. Sambil sesekali melempar pandang ke televisi yang siarannya tak kumengerti. Penyiar berwajah cantik itu berkali-kali bicara dengan bahasa tingkat tinggi, istilah sulit, bahasa orang terpelajar. Baru setengah jam aku berdiri di depan klub ini. Belum lama kulitku terkena udara. Rokokku baru setengah kuhisap, masih malas untuk kembali ke ranjang. Lagipula aku lebih senang melayani tamu bule atau negro, uangnya lebih banyak. Tamu Asia tak menyenangkan. Rewel dan banyak tuntutan.

“Bor! Bor! ( Tidak! Tidak!),” tolakku. Senyum segera lenyap dari wajah Thailand. Secepat kilat berubah jadi cibiran akibat penolakanku. Cuh! Dia meludah di hadapanku. Huh! Sayang katamu? Sudah lama kata itu jadi hantu buatku. Menakutkan! Aku sering kecewa karena percaya pada kata itu. Seperti juga yang terjadi padamu Thailand! Sayangmu itu dalam semenit telah berubah jadi ludah yang jatuh ke tanah kotor.

Ibuku bilang, ia sayang aku. Tapi ia memukuliku sebagai ungkapan sayangnya. Tanpa dijelaskan dulu kenapa sayangnya diwujudkan dengan menampar pipiku, atau memukul kakiku dengan tongkat. Ayahku bilang, aku anak kesayangannya, tapi waktu Ibu menyiksaku dengan kasih sayangnya. Ayah tak membelaku tapi membelaiku dengan sumpah serapah.

Pamanku bilang, ia adalah dewa penyelamatku. Aku akan dilimpahinya dengan banyak kasih sayang. Lalu dibawanya aku ke Vat Xieng Gneun. Sebuah jalan di tepian Mekong. Sisi barat kota Vientiane. Dijualnya aku disana. Paman tak salah. ‘Sayang’ memang benar-benar melimpah ruah di tempat ini walau hanya sebatas kata-kata. Murah meriah bertebaran di mana-mana. Membuatku semakin yakin bahwa sayang yang sebenarnya tak pernah ada di muka bumi ini.

Sayang tak pernah ada bila tak ada uang. Ibu memukul karena kehabisan pangan. Ayah marah karena tak tahu cara untuk menambah penghasilan. Paman hanya memanfaatkan kesempatan melihat kemiskinan. Semua itu membuatku harus berkorban demi kasih sayang kepada keluarga. Atau demi apa aku tak paham. Apa demi adik-adikku yang berjumlah lima orang? Atau untuk Ayah yang tak mampu bertanggung jawab, karena sebagai petani kecil penghasilannya juga kecil. Mungkin hanya sekedar mengendorkan saraf Ibu, yang selalu menegang bila melihat adik-adikku berebut makanan. Bisa juga untuk menambah modal berjudi Paman. Sungguh sayang yang menyakitkan.

“Chau sa bai dee bor? (Apa kabarmu baik saja)” Oley pengemudi tuk-tuk tertampan di sepanjang Vat Xieng Gneun, menanyakan kabarku hari ini.

“Dee Chai (Baik saja),” jawabku sambil mengalihkan pandang. Tatapan mata Oley selalu membuatku bergetar. Hatiku mengeligis pedih, aku sadar akan perasaan yang sedang tumbuh di hatiku. Perasaan yang ditimbulkan tatapan mata Oley

“Thuppy, koi hak choi ( Thuppy, aku cinta padamu).”

“La kon Oley! ( Sampai jumpa Oley).” Aku mengusirnya. Bukan karena aku tak suka tapi karena keberadaan Oley yang begitu dekat membuatku salah tingkah, aku jadi tak bisa menjajakan senyumku dengan baik. Bisa-bisa senyumku tak laku malam ini, karena terlihat kaku. Tatapan mata Oley sering membuatku beku. Apalagi pernyataan cintanya, hatiku kaku-kaku tak bisa bergerak bila Oley berkata begitu.

Kata cinta itu telah begitu banyak meluncur dari mulut Oley. Tapi tak sedikit pun aku memberinya kesempatan untuk berkata lebih dari itu. Tak kuberikan sedikitpun kesempatan pada diriku untuk mendengar lebih dari itu. Seandainya aku bukan pelacur dan Oley bukan penjaja mariyuana yang berkedok supir tuk-tuk. Kami pasti sudah beranak dua tahun ini.

Andai aku tak terdampar di jalan kelam ini. Dan Oley masih menggarap ladang orang tuanya di Luang Prabang. Kami pasti bisa membentuk keluarga kecil yang tenang. Dengan kesederhanaan. Tanpa kemeriahan yang memabukkan seperti di jalan ini. Hanya desah sawah, derai sungai, berisik jengkerik yang memenuhi hari-hari.

Perkawinan seorang pelacur dan penjaja mariyuana tak akan berjalan lancar. Perkawinan Jay dan Kova hanya berjalan tiga bulan. Dan yang tiga bulan itu merenggut semua senyum Kova. Sekarang tanpa mariyuana Kova teronggok lemas tak berdaya. Aku tak mau itu terjadi padaku. Aku tak mau kehilangan senyumku hanya karena cinta Oley.

Aku ini perempuan yang harus selalu tersenyum. Karena tanpa senyum aku tak bisa menyambung hidupku. Aku harus selalu tersenyum karena senyum adalah bagian dari pekerjaanku. Pelanggan akan memberi uang lebih, bila aku lebih banyak memberinya senyuman. Senyumku adalah hidupku. Senyum model apapun itu. Senyum manis yang mengundang, senyum nakal dengan sedikit godaan, atau senyum puas sesaat sesudah melayani. Senyum tak boleh lepas dari bibirku.

Aku selalu tersenyum. Ketika sedang duduk menunggu pelanggan, ketika telentang di hadapan lelaki hidung belang, ketika hari teriris sepi di sudut tikungan jalan. Saat menatap Oley yang termangu di belakang kemudi tuk-tuk terbungkus asap rokok. Senyumku untuk setiap kata sayang yang terucap. Senyumku untuk setiap lembaran kip, dolar, atau bath. Mata uang negeri manapun. Senyumku yang palsu untuk setiap kata sayang yag juga palsu itu.

Bibir ini sekarang sudah jadi mesin senyum saja. Kompak dengan mataku. Kata orang mata tak bisa bebohong. Tapi mataku bekerja sama dengan bibirku adalah pembohong yang ulung. Mereka membohongi semua orang dengan senyum dan kerling. Membohongi hatiku yang selalu merasa muram.

Oley melambaikan tangan dengan wajah sendu, setiap aku digandeng lelaki untuk diajak kencan. Malam ini pun dia hanya memandang saja ketika aku sengaja lewat di depan tuk-tuknya mangkal. Sambil menyandarkan kepala pada bahu seorang negro kupandang wajahnya yang tampak pasrah. Uh! Kenapa tak kau tonjok saja negro mata keranjang ini! Bawa aku lari dengan tuk-tukmu, seperti seorang super hero yang muncul dari langit dan membawaku terbang ke angkasa.

Bukankah seharusnya ia cemburu? Bila ia memang punya cinta untukku. Cinta dan cemburu seperti sendok garpu, tak lengkap bila salah satu tak ada. Tapi tetap saja bisa digunakan walau pasangannya tak ada. Sendok bisa digunakan tanpa garpu begitu pula sebaliknya. Bisa cinta atau cemburu saja, atau tidak keduanya sekaligus. “Jadi seperti apa cintamu itu? serasa apa sayangmu itu? Oh, Oley sampai hari ini aku hanya mendengarnya terucap dari mulutmu saja. Kurasa itu perlu dibuktikan lebuh dulu. Entah dengan cara apa. Aku tak tahu Oley.”

Selembar kertas terjatuh dari tanganku, aku menemukannya terselip di bawah pintu. Tanganku bergetar tak sanggup menyangga beban yang tertulis di atasnya.

Aku tak tahan melihat senyuman di bibirmu Thuppy. Betapa aku ingin juga meikmati senyummu seperti banyak laki-laki lain. Tapi aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyikapimu seperti semua laki-laki itu. Seandainya aku elang, akan kusambar tubuhmu. Kubawa ke sarangku di puncak tebing curam yang tak terjangkau mahluk apapun. Hanya ada kau dan aku. Tapi aku dan kau seperti Laos dan Thailand. Hanya tipis terbatasi Mekong. Begitu dekat tapi tetap saja di seberang.

Maafkan aku Thuppy, Pada kenyataanya aku terlalu pengecut. selamat tiggal Thuppy.

Oley

Membaca surat Oley, ada rasa panas yang keluar dari dada. Merambat ke atas ke arah kepala. Hendak menuju mata, Tapi terhenti sampai di leher saja. Senyumku menghambatnya. Akibatnya leherku terasa tercekik.

Aku ini perempuan yang selalu terseyum. Apapun yang terjadi aku selalu tersenyum. Cobalah kau cari dimana airmata kesedihanku tersimpan. Tak mungkin ditemukan. Karena sekarang aku yakin aku tak memilikinya.

Aku tetap tersenyum. Bahkan ketika kulihat mayat Oley terapung-apung di Mekong.

KHAEM KHONG, MEKONG RIVERSIDE, 060208



TUK-TUK : SEPERT BAJAJ, KENDARAAN KHAS LAOS DA THAILAND.

LAU LAO : MINUMAN KERAS KHAS LAOS.

Ibu dan Anak

Januari 28th, 2008 by Anekdot

Entah berapa umurku saat itu. Dua tahun. Atau mungkin tiga tahun. Sepertinya tiga tahun. Aku sedang duduk di tempat tidur. Atau mungkin sedang berbaring. Aku lupa lagi. Tapi yang jelas pintu kamar terbuka. Terdengar suara-suara bernada tinggi. Apakah aku menangis ketika itu? Mungkin. Iya, aku menangis. Menangis karena apa? Lapar? Popok yang belum diganti? Haus? Atau aku hanya ingin mengeluarkan air mata saja? Tapi sepertinya aku menangis karena suara-suara itu. Suara-suara bernada tinggi yang menakutkan. Suara-suara yang belum bisa kumengerti kata-katanya. Suara-suara dari kedua orang tuaku.

Plak. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Suara tamparan itu. Suara tangan ayahku yang menyentuh pipi ibuku. Suara yang kemudian berlanjut kepada tangisan. Tunggu. Tangisan siapa? Aku atau ibuku? Aku sudah berhenti menangis. Tampak ibuku berurai air mata.

*

Di mana aku? Aku berada dalam kebingungan. Aku berada di dalam suatu kendaraan panjang dengan kursi-kursi ganda di setiap sisinya. Aku berada di pangkuan ibuku. Tampaknya aku baru terbangun dari tidur lelap yang panjang. Ibuku tersenyum kepadaku. Ia mencium pipiku.

Aku melihat keluar jendela. Tampak sebuah jembatan. Atau seperti sebuah monumen. Aku tak bisa menjelaskannnya. S-E-M-A-R-A-N-G. Begitulah huruf-huruf yang tertulis. Tapi aku masih belum bisa membaca.

Kendaraan itu berhenti. Para penumpang mulai keluar melalui pintu. Termasuk ibu dan aku. Panas. Itu yang aku rasakan untuk pertama kali ketika keluar dari kendaraan itu. Cuaca panas yang gerah. Tidak seperti biasanya.

Tampak seorang lelaki yang berjalan menuju ibuku. Lelaki itu memanggil nama ibuku. Ibuku menyahut. Mereka berdua saling menghampiri. Tampak dari muka mereka suatu perasaan senang dapat bertemu. Lelaki itu, lelaki yang bukan ayahku.

Entah berapa lama aku tinggal di kamar itu. Udara yang panas dan gerah membuatku tidak betah. Kalau tidak salah badanku menjadi merah karena gatal.

Lelaki itu cukup baik kepadaku. Dia membelikanku boneka. Dia juga sering memberiku permen dan coklat. Dia sering mengajak aku dan ibuku berjalan-jalan. Aku sering menemukan diriku di tempat yang asing dan baru.

Kadang-kadang suka teringat wajah ayahku. Mungkin aku kangen kepadanya tapi sepertinya tidak juga. Lelaki ini baik kepadaku. Dan ibuku juga tampak gembira.

Sudah berapa lama aku tinggal di kamar ini?

*

Wajah-wajah dari orang-orang yang kukenal. Ayah, dua orang yang dipanggil mama dan papa oleh ibuku, seorang wanita dan seorang lelaki yang mukanya mirip dengan ibu.

Mereka semua sedang mengelilingi ibuku. Mereka tampak sedang berbicara pada saat yang hampir bersamaan. Raut muka mereka tampak sayang, kesal, dan lega. Suara mereka mengisyaratkan rasa kesal dan menyesal. Aku menyadari bahwa aku sudah tidak tinggal di kamar itu lagi.

Baru beberapa tahun kemudian aku akan tahu tentang arti dari semua ini. Kenapa ibuku sampai lari dan kenapa ibuku ditemukan kembali. Apa yang telah dia lakukan dan apa yang telah dia jalani.

Tampak ibuku menyesal. Ayahku juga terlihat menyesal.

Ibuku sedang menangis di antara orang-orang itu.

*

Aku sudah lebih dari dua tahun tinggal di rumah Ua.

Ketika itu namanya masih Ebtanas. Aku masih belum tahu akan melanjutkan SMP ke mana. Apakah tetap di Jakarta atau kembali ke Bandung.

Orang tuaku mengatakan bahwa itu terserah kepadaku. Aku bingung. Aku disuruh menetapkan keputusanku sendiri. Seorang anak berumur 11 tahun disuruh memilih jalan hidupnya sendiri.

Rasa sakit itu kembali menyerang. Rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung pada bagian perut dan payudara. Entah sejak kapan aku jadi suka merasa gelisah dan depresi tanpa alasan yang jelas. Udara Jakarta yang panas dan gerah membuat keringatku semakin berceceran. Entah sejak kapan keringatku jadi bau.

Mengapa aku sekarang tinggal di sini? Ayah sebetulnya tidak terlalu setuju aku tinggal dengan Ua di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak terlalu antusias. Ini kehendakmu kan, Ibu? Ibu kan yang tampaknya benar-benar ingin aku tinggal dengan Ua.

Kenapa? Apakah aku merepotkan ibu? Apakah ibu tidak mau mengurusku? Apakah aku menjadi benalu dalam kehidupanmu?

Rasa sakit itu semakin merajalela. Kepalaku mulai terasa pening dan pusing. Ibu, di mana kau berada saat menstruasi pertamaku?

*

Seperti de ja vu. Tamparan itu. Oleh orang yang sama. Kepada orang yang sama. Hanya di tempat dan suasana yang berbeda.

Dago. Di tempat umum. Ayahku menyeret ibuku keluar dari mobil seorang laki-laki teman kerjanya. Orang-orang melihat kejadian itu. Ayahku ditenangkan oleh seorang tukang baso. Ayahku tampak menjelaskan permasalahannya.

Aku melihatnya dari kaca mobil ayahku. Aku kesal, bingung, sedih, dan malu. Aku tidak tahu harus berpihak ke mana. Aku hanya seorang anak ABG. Aku sedang dalam masa pubertas.

Ayah, kenapa kau tega sekali kepada ibu? Ibu, apa yang telah kau lakukan hingga suamimu marah besar?

Aku tidak tahu harus berpihak ke mana.

*

Sepasang sepatu yang asing tampak di depan pintu. Terdengar suara ibuku dari dalam rumah. Terdengar juga suara lelaki asing.

Kulihat dari jendela dua manusia sedang ngobrol dengan santai sambil sesekali bercanda. Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka menengokkan kepala kepadaku.

Entah apa yang kurasakan saat itu. Emosi macam apa yang kurasakan saat itu. Mungkin aku memang seorang wanita liar. Atau lebih tepatnya seorang remaja liar. Mungkin memang masa putih-abu adalah masa pemberontakan. Masa di mana emosi dan mental ditantang.

Tanpa pikir panjang aku ambil vas bunga di meja. Aku lempar vas itu ke lelaki bajingan di depanku. Tepat mengenai kepalanya. Vas itu pecah berantakan. Tampaknya dia menjadi tidak sadarkan diri.

Muka ibuku yang panik. Tubuhnya yang menghampiri lelaki itu. Muka ibuku yang tidak bisa aku definisikan.

Setelah itu aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan apa-apa. Kepuasan, kemarahan, kesedihan, atau kesenangan. Aku tidak tahu. Aku merasa hampa.

*

Sudah kesekian kali telepon berdering. Aku akhirnya mengangkatnya juga. Suara nenekku terdengar tua di telingaku. Aku tahu alasan dia menelepon.

Beberapa jam yang lalu ibuku baru menikah. Wanita itu baru resmi bercerai dengan ayahku dua minggu yang lalu. Sekarang sudah menikah lagi.

Setengah jam yang lalu ibuku menelepon. Aku bentak-bentak dia. Aku menyebutnya dengan berbagai macam nama. Aku membuatnya menangis.

Nasihat-nasihat nenekku terdengar hampa. Aku tidak menaruh perhatian satu persen pun pada omongan wanita tua itu.

Aku teringat pada ibuku. Aku membayangkan pernikahannya. Aku membayangkannya dalam baju kebaya. Pasti dia terlihat cantik sekali.

Ibu. Aku tidak membencimu tapi aku tidak bisa menemukan alasan untuk menyayangimu. Menyayangi seorang ibu seperti seharusnya seorang anak.

Sembilan bulan. Apakah itu cukup? Apakah itu satu-satunya alasan?

*

Pernikahan yang sederhana dan simpel. Itu yang kuinginkan. Itu yang kurasakan.

Kepuasan itu semakin besar karena seseorang. Orang itu tidak datang. Aku memang tidak mengundangnya.

Orang itu tidak suka dengan calon suamiku. Orang itu bersikeras bahwa aku tidak boleh menikahinya. Orang itu mengatakan bahwa aku tidak akan bahagia. Orang itu mengatakan bahwa itu semua demi kepentinganku.

Penolakanmu semakin memuaskanku. Sikap seolah-olah kau peduli semakin memuaskanku.

Jangan sampai kamu merasakan apa yang kurasakan.

Jangan sampai kamu melalui apa yang kulalui.

Aku tidak percaya kalau kau mengatakan itu.

Ibu, sejak kapan aku harus mendengarkanmu?!

*

Hidup adalah alunan waktu yang tidak akan pernah kembali lagi. Tahun-tahun yang kulewati dalam kekangan komitmen palsu ini terasa hampa dan menyebalkan.

Aku melihat foto pernikahanku. Kukenang saat itu. Tapi sesungguhnya tidak ada yang bisa kukenang.

Aku mengakuinya. Wanita itu memang benar. Dari awal aku memang tahu kalau wanita itu benar. Aku hanya ingin membalasnya. Aku hanya ingin merasa puas.

Ternyata aku hanya memainkan diriku sendiri. Aku mempermainkan hidupku sendiri.

Aku menggosok debu pada foto pernikahanku. Tepat delapan belas tahun yang lalu. Sudah delapan belas tahun. Apa yang kurasakan? Aku tdak merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan cinta seorang suami.

Buah hati. Ketika aku melihatnya aku melihat diriku sendiri. Luar dan dalam. Jasadnya adalah aku. Hatinya adalah aku. Buah hatiku adalah reinkarnasi diriku.

Entah sudah berapa lama aku tidak menangis selama ini.

*

Cimindi.

Rumah itu adalah rumah yang paling strategis di dunia. Pasar, jalan raya, stasiun kereta api, dan bandar udara. Rumah itu terletak di tengah semuanya. Rumah bekas jaman penjajahan Belanda yang tidak terawat. Kulit tembok yang warna aslinya putih sudah mengelupas di mana-mana.

Siang hari. Di tengah kebisingan dunia, aku berdiri di depan pintu kayu besar rumah itu. Aku mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Seorang wanita tua membukanya.

Bagaimana menyebutnya? Karma? Aku tidak percaya dengan kata itu. Aku hanya percaya bahwa segala sesuatu yang kita lakukan pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mempunyai arti yang sama dengan kata karma tapi tetap saja aku tidak percaya dengan kata itu.

Wanita tua itu tersenyum padaku. Aku tersenyum kembali padanya. Aku mendekatinya dan mencium tangannya. Sudah berapa lama aku tidak mencium tangan itu. Sudah berapa lama aku tidak membaui tangan itu. Sudah berapa lama aku tidak berjumpa dengan ibuku.

Pada akhirnya aku mengerti. Pada akhirnya aku dapat mengerti. Setiap orang mempunyai jalan hidupnya masing-masing. Ibuku mempunyai jalan hidupnya sendiri yang dia pilih dengan segala macam pertimbangan. Aku tidak berhak merasa marah atau tidak senang dengan pilihan hidupnya. Aku hanya kecewa tapi sekarang aku dapat mengerti.

Karma.

Kata itu muncul kembali dalam benakku.

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Like mother like daughter.

Sudah berapa lama aku tidak berbicara dengannya?

Karma…

Ibu, bagaimana ibu dulu menghadapiku?

Hipotesis Sebuah Parfum

September 25th, 2008 by andika destika khagen

Entah kenapa aku bertemu dengan Satria tadi pagi. Laki-laki jetset penganut kapitalisme. Aku juga heran, kenapa kali ini aku terkesima. Bukan karena ketampanan laki-laki bangsawan itu, lebih karena bau parfumnya. Dari jarak dua meter tempat aku duduk, parfumnya—entah merek apa—tercium. Sangat wangi. Kunikmati wewangian itu agak lama. Sedikit kupejamkan mata. Aku baru tersadar ketika wewangian itu dikalahkan oleh bau badanku sendiri.

Naluriku tersentak. Sejak itu aku ingin beli parfum. Merek apa saja, asalkan wangi. Pikirku, bukan untuk menggaet perempuan dan berbeda dengan teman-teman aktivis lainnya. Aku cuma ingin menghargai diri sendiri. Ya, badan ini mesti diubah komposisi wewangiannya.

Ini pertama kali aku punya keinginan beli parfum. Biasanya, sabun mandi saja sudah terasa cukup membasuh badan lusuh ini. Toh, orang yang kuhadapi tiap hari hanya itu-itu saja: Sardi, Rusni, Rinto, dan Rini. Bau badan mereka, termasuk juga aku, tak ada yang bisa membedakannya. Bau amis ketiak dan keringat menjadi satu membentuk aroma yang tidak sedap. Kami tak pernah menghiraukannya. Itulah bau terindah yang selalu kami hirup. Aku pikir, wajar adanya dan kami tak pernah mempermasalahkannya. Wangi atau tidak hanya sebuah perumpamaan dan bentukan sosial dari keadaan. Untuk itulah, parfum bukan menjadi kebutuhan pokok.

Parfum hanya pantas dimiliki bagi mereka yang berpasangan. Menarik lawan jenis dengan parfum memang bukan hal yang biasa lagi. Tak ada rasanya orang yang berani duduk di dekat pasangannya dalam keadaan amis. Ah, bahkan bau keringat pun tak ada lagi orang yang menghargainya!

Tapi, memang ada yang berbeda dari parfum. Itu yang baru saja kukenali. Pikiranku sedikit keliru. Pelajaran itu kudapat dari Satria.

“Tak apalah menyisihkan sedikit uang untuk menghargai diri sendiri.”

Tak mahal harga untuk sebuah parfum. Pasar selalu memberikan kemudahan bagi penganut konsumerisme. Tujuh ribu rupiah, harga sebuah parfum (aku belum mampu membedakan antara parfum dengan splash cologne. Pikirku, setiap yang wangi adalah parfum). Kupilih aroma terapi. Di antara puluhan yang berjejer di rak swalayan, cuma aroma terapi yang membuat hidungku merasa nyaman.

***

Inilah langkah terindah yang pernah kuayunkan. Lima kali semprot, dari ketiak sampai buah baju, rasanya terasa cukup membuatku lebih menikmati hari. Setidaknya, bau amis berganti menjadi aroma terapi.

“Aku telah menghargai diri sendiri di antara orang-orang yang selalu memikirkan orang lain.”

Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.

Aroma terapi menyebar ke seluruh penjuru sampai sudut yang tak terhingga. Dari ujung ke ujung. Dari tatal ke tatal. Aku bangga membuat dunia menjadi wangi. Rasanya, dunia memang butuh aroma mengganti bau amis darah yang tiap hari keluar dari perut ibu pertiwi.

Aku merasa beruntung bertemu Satria tadi pagi. Pertama kalinya, Satria tak lagi jadi bahan diskusi kami. Ia jadi pahlawan sekarang. Parfum ini membuat orang-orang menyapaku. “Senyummu indah Kus.”

Auraku sedikit bertambah. Senyumku lebih mengembang. Inikah alasan orang-orang pakai parfum? Parfum, parfum, oh, kenapa tidak semua orang sadar akan wewangian?

Wajar saja Bidin jadi Walikota. Ia tentu pakai parfum yang harum dengan harga yang sama dengan uang kuliahku dua semester. Dibeli di Jerman atau Amerika. Parfum di sana tentu lebih harum daripada yang dijual di swalayan-swalayan yang hanya untuk kaum konsumerisme kelas menengah ke bawah. Atau mungkin juga dibeli pada paranormal. Mereka biasanya menawarkan parfum dengan aroma yang berbeda. Diolah sendiri. Katanya, kasiatnya lebih manjur daripada yang dijual dipasaran. Tidak semua orang yang bisa membeli parfum pada paranormal. Biayanya lebih besar daripada membeli parfum buatan Jerman atau Amerika. Kelebihannya mungkin terletak pada wangi natural yang ditawarkan. Bukankah tidak ada orang yang suka dengan bau amis?

Tak apalah. Parfum harga tujuh ribu saja rasanya sudah cukup untuk mahasiswa yang tak pernah punya anggaran membeli parfum. Parfum Walikota tentu tak bisa aku beli dengan alat tukar yang hanya berjumlah tujuh lembar uang kertas bergambar Kapiten Pattimura.

“Rambutmu rapi, Kus.”

Tiga orang yang berpapasan, mengeluarkan pujiannya. Tapi sayang, mereka tidak berkata, “Bau keringatmu berbeda hari ini.” Oh, aku baru saja tersentak. Parfum ini telah menular ke rambut, wajah, dan senyumku.

Siapa lagi yang akan memujiku? Aku rindu pujian sebanyak mugkin untuk meyakinkan pada dunia bahwa wangi itu penting. Bau keringat yang diberikan Tuhan harus dilawan dengan aroma terapi. Bau parfum ini sama halnya dengan sedikit demokrasi yang dirindukan warga Pakistan pasca tertembaknya Benazhir Bhutto.

Parfum ini harus dinikmati semua orang—minimal warga kampus ini. Atau setidaknya lagi teman-teman diskusi. Mereka mesti diberi penyadaran bahwa parfum itu penting. Kesadaran akan wangi benar-benar harus ditanamkan. Diskusi dengan bau badan amis tak lagi menarik bagiku. Kodrat dan kebutuhan mesti diletakkan pada tempat yang semestinya. Bau badan bukan kodrat, tapi kebutuhan.

“Celanamu baru, Kus.”

Apakah parfum ini menular juga ke celanaku? Roni, yang baru saja menyapa, bahkan tidak bisa membedakan celana yang baru dan usang. Untuk beli parfum saja aku harus rela mengorbankan makan siang. Tidak sempat pula kiranya untuk beli celana baru. Luar biasa, parfum ini ternyata membuat dunia menjadi absurd. Wewangian ini begitu sempurna. Semua yang lusuh kelihatan baru; rambut yang tidak berminyak kelihatan rapi; dan senyum yang kusam menjadi mengembang. Betapa kasiat ini tak pernah diduga sebelumnya!

Keterkejutanku berikutnya terus bertambah. Semakin menakjubkan. Hidung-hidung manusia ditusuk seperti kerbau. Hidung-hidung itu punya kesimpulan yang sama: parfum di badanku begitu menggoda dengan aroma terapi. Cuma lima kali semprot di setiap sisi yang dirasa perlu.

Bahkan Suci, seorang gadis berkepala batu hari ini mencair. ”Kau begitu berbeda hari ini, Kus. Celanamu beli di mana?” Aku tersentak dan harus terima dengan perubahan yang serba tidak jelas ini. Apalagi melihat senyum Suci. Untuk pertama kalinya Suci membagi senyumnya kepada orang yang tak pantas menerima senyuman. Lagi-lagi parfum ini mempesona.

Apalagi yang kuharapkan dari parfum? Semuanya terlihat begitu sempurna. Walau belum tentu nyata. Inilah sebenarnya yang diharapkan dari parfum: sebuah kamuflase akan tampilan bentuk. Aku menikmatinya. Sama halnya dengan kenikmatan orang-orang pada umumnya akan tampilan bentuk.

“Sepatumu bagus, Kus. Kapan kamu beli?”

Apalagi ini? Hey, ini jelas tidak benar. Benar-benar tidak bisa diterima. Kelewatan. Nalarku berjalan. Kenapa tidak ada yang bisa membedakan antara dua hal yang jelas berbeda? Sepatu ini jelas sudah lusuh. Tiga lobang menganga di sisi kiri dan di depan. Kenapa Rudi bilang baru? Sedikit pun tidak ada tanda-tanda sepatu ini baru. Orang yang bilang sepatu yang aku pakai baru, perlu diragukan otak yang sedang dibawanya.

Tapi, astaga, setelah berpapasan dengan Rudi, semua orang bilang sepatuku baru. Apakah mereka semua sudah gila? Hipotesis ini begitu membingungkan. Ustadz Hamzah juga bilang sepatuku baru. Tentu ia tidak sedang bercanda, apalagi berdusta. Hipotesis ini benar-benar membingungkan.

Parfum ini ternyata jauh lebih membingungkan. Baru dan usang tak ada yang bisa membedakan. Bagus dan buruk tak jelas lagi mana batasnya. Gawatnya, tak ada yang sadar bahwa yang dilihat tidak seperti yang sedang aku pakai!

Aku teringat akan kemunculan parfum ini ketika keluar dari toko. Pelbagai keanehan muncul. Sepertinya tubuhku tak lagi mutlak menjadi milik pribadi. Seharusnya aku bangga dengan keadaan ini, tapi tidak dengan sepatu.

***

Lima semprot parfum beraroma terapi ini membuatku tak habis pikir. Semua yang ada, jelas nyata, berlawanan dilihat, meskipun ia seorang yang harusnya bisa dipercaya. Aku mulai curiga pada parfum ini. Isinya masih banyak, jika aku pakai, dua bulan baru parfum itu akan habis digunakan.

Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.

Aku teringat Satria. Semua benda yang menggantung di leher, terpakai di badan, dan diletakkan di dekat kaki, adalah barang konsumtif dengan harga tak terkira—mungkin juga tak terjangkau. Jika keadaannya setelah ia pakai parfum, bagaimana orang melihat baju, senyum, dan sepatunya? Tentu jauh lebih bagus dari yang sekarang dikenakannya. Sepatu lusuh saja terlihat baru. Bagaimana dengan sepatu baru? Tentu orang akan memandang new baru atau double baru. Aku ngeri membayangkan Walikota yang menggunakan parfum yang dibeli dari Jerman dan Amerika. Tak ada lagi keburukan yang akan menganga karena semuanya ditutupi dengan bau parfum.

Pantaslah banyak orang yang membeli parfum sampai ke luar negeri. Menghabiskan uang dengan hal, bila dibandingkan dengan kaum duafa, tak pernah terpikirkan untuk menggunakannya.

Bagaimana dengan orang yang tak pakai parfum? Aku hanya mampu mengatakan bahwa parfum itu penting, setidaknya untuk mengurangi bau amis. Tapi apakah bau amis mesti ditutupi? Bukankah ada pepatah mengatakan ”Sampai manapun, bau yang busuk tetap akan tercium.”

Pertentangan antara kebutuhan dan keinginan berkecamuk. Kebutuhan mengatakan bahwa tak perlu ada parfum toh tujuannya mengaburkan makna yang sebenarnya. Di lain hal, keinginan tentu tak tega memperbiarkan bau busuk mengotori udara yang tak lagi bersih. Tapi, ah, aku bingung dengan kata makna.

“Dari mana saja kau, Kus?”

Ini keterlaluan. Hari-hariku dihabiskan hanya di kampus ini. Aku tak pernah kemana-mana. Kos-kampus-sekre tempat diskusi adalah tempat yang tak berubah kulalui dari waktu ke waktu. “Kau jelas mengada-ada, Rinto.” Aku mulai tidak tahan lagi dengan perlakuan parfum ini.

“Aku baru saja melihat kau di Pasar Raya.

Oh, bahkan tubuhku sudah diduplikasi oleh parfum ini. Satu di tempat penuh kebohongan, satu lagi di lingkungan akademis. Dua tempat ini begitu berbeda sangat. Rinto melihatku di pasar, juga di sini. Aku tidak akan terima ini.

“Aku selalu di sini Rinto, tidak ke mana-mana. Mari kita mulai saja diskusi ini.”

Parfum ini harus segera dibumi hanguskan. Di buang sejauh-jauhnya sampai tidak terlihat oleh Tuhan sekalipun. Dikubur sedalam-dalamnya sampai di bawah tanah yang tidak terjangkau oleh cacing.

Sampai sekarang, sejak lima semprotan aroma terapi tadi pagi, tidak pernah ada yang bilang, “Bau keringatmu berbeda hari ini.” Sebenarnya hanya itu yang kuharapkan dari tadi pagi. Rasanya tidak berlebihan, karna hari ini berbeda dari waktu yang sebelumnya. Setidaknya, tidak lagi bau keringat.

Tak seorang pun yang tahu aku pakai parfum. Ketika kutanyakan pada Rini, ia hanya bilang, “Kau tetap bau keringat, Kus.” Tidak ada yang berubah, tetap bau keringat dan amis.

“Yang berubah pada dirimu adalah, kau serba baru sekarang. Celana, baju, sepatu, dan senyummu begitu indah, Kus.”

Tak ada lagi ampun, parfum itu mesti dibuang. Kalau bisa, dikembalikan lagi ke swalayan. Tujuh lembar uang yang bergambar Kapiten Pattimura, yang seharusnya digunakan untuk makan siang, tidak bisa diganti dengan ketidakbenaran yang diciptakan oleh parfum ini. Hipotesisku baru saja selesai: wangi parfum membuat orang lupa akan sepatu buntut!

Oh, ke mana hilangnya parfum yang kutaruh tadi pagi di atas meja?***

Bibir

Februari 13th, 2008 by Ge

“Sepertinya kita pernah bersebelahan jiwa,” kata perempuan itu kepada laki-laki yang duduk berhadapan dengannya, hanya sepotong kayu imitasi yang dinamakan coffee table dan dua mug gemuk kopi hangat masih berasap menjembatani ruang antara mereka berdua dari kursinya masing-masing. “Atau setidaknya kita pernah yakin tentang hal itu.”

Laki-laki itu mengangkat pandangannya dari merenungi asap-asap tipis yang keluar dari mug-nya dan menatap perempuan itu, ia menemukan dirinya merasa sangat asing. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menjawab, “Mungkin aku memang tidak penah mampu untuk mengerti kamu. Mungkin otakku yang bebal. Kata-katamu selalu saja asing bagi telingaku, namun selalu saja keluar dengan wajar dari bibirmu.”

Dan bibir itu sangat manis bentuknya, namun tidak lagi menimbulkan rasa ingin. Ah, laki-laki itu menggelengkan kepalanya dengan heran. Ia merasa seperti orang mabuk, namun tidak tahu lagi karena apa dan dimana. Beberapa putaran musim yang lalu bukankah hanya bibir itu yang ada dalam ingatannya sepanjang pagi, siang dan malam, dan pagi lagi, tidak pernah berhenti melingkar-lingkarkan jerat di dalam kepalanya. Cara bibir itu bergerak saat bicara, sudut-sudutnya yang naik turun tergantung emosi pemiliknya, merekahnya ketika minum kopi dan mengintipkan gigi putih yang sangat cocok untuk iklan pasta gigi ketika mengigit sepotong kue. Bukankah bibir itu yang dikulumnya tanpa puas ketika gairah-gairah mereka memuncak di malam-malam penuh gelegak yang mereka reguk bersama-sama. Mengapa semuanya saat ini rasa-rasanya tidak pernah benar-benar terjadi tak dapat dimengerti oleh pikirannya yang biasanya jago mengkalkulasi rumusan-rumusan jual-beli, untung dan rugi.

“Apa yang sudah terjadi?” Bibir itu bergerak turun seirama dengan ekspresi di wajahnya yang bebas jerawat, bebas komedo, bebas kerut-merut dan halus rupawan itu.

Perempuan itu melihat bagaimana bekas suaminya menggelengkan kepala dengan cara yang sangat khas, seakan mencoba menebak sesuatu. Dan laki-laki itu memang sedang mencoba menebak apakah pertanyaan yang barusan keluar dari bibir itu adalah sebuah pertanyaan sungguhan ataukah jebakan seperti yang seringkali terjadi dalam pembicaraan mereka.

“Sudah makan ya?” tanya bibir itu.
“Sudah,” jawab laki-laki itu seraya mencoba mencium kemanisannya.
“Kok nggak ngajak-ngajak?” Bibir itu menurun membentuk kurva setengah lingkaran dan lampu merah di kepala laki-laki itu mulai berkedip-kedip.

“Lho, waktu aku telpon katamu kamu tidak suka masakan Itali dan kamu ada janji dengan teman-temanmu mau shopping. Jadi aku kira kamu pasti tidak mau ikut.”

“Aku memang tidak suka, tapi kan kamu bisa menawarkannya kepadaku.”

Hm, laki-laki itu garuk-garuk kepala.

“Ya sudah, kalau kamu mau kita pergi makan berduaan saja sekarang. Mau kan?”

“Jangan merubah pembicaraan! Kamu makan-makan dengan siapa-siapa saja tadi?”

“Lho…ya dengan teman-teman kantor.”

“Pasti ada dia!” Bibir itu melancip, tajam sekali, seperti pedang dan berkilau-kilau karena lipgloss-nya. Laki-laki itu tanpa sadar merasa bergidik. Kok jadi menakutkan sekali?
“Dia siapa sih?”

“Pura-pura tidak mengerti. Ya, dia. Siapa lagi? Pasti ada perempuan itu.”

“Perempuan yang mana lagi?”

“Wulan, yang janda cantik itu!”

“Ya iyalah, bukan, maksudku bukan janda cantiknya, tapi memang iya Wulan ada, Angki juga, Jeffry juga, Asep juga, pokoknya semuanya. Aku sudah bilang akan makan dengan rekan-rekan kerjaku, iya kan?”

“Sebal aku! Itu sebabnya kamu tidak mau aku ikut, supaya kamu bisa main mata dengan leluasa, iya kan?!?!”

“Lho, lho… Apa-apaan sih kamu? Jangan cemburu yang tidak-tidak dong.”

“Pasti! Makanya aku tidak diajak!”

Jelas sekali tuduhan dan tudingan tersirat dari bibir itu. Maka malam itu kemudian menjadi malam yang sangat dingin, hampir-hampir membekukan, ciumannya pun membentur gunung batu yang menjulang tinggi dan menukik tajam di sudut-sudut dan lekuk-lekuk bibir itu.

Maka, laki-laki itu kemudian berlatih untuk diam sejenak sebelum menjawab segala sesuatu yang keluar dari bibir itu, betapapun manis dan lembutnya terdengar di telinga, karena dua tambah dua tidak selalu menjadi empat dalam kalkulasi pemikiran otak yang terletak dua jengkal saja jauhnya dari bibir itu. Atau, bila ia tidak yakin pada jawabannya maka dia akan membisu seribu bahasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Bibir itu kembali menyadarkannya dari kenangan yang sempat menyerempet ingatannya tadi. Laki-laki itu mengangkat bahu. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena dia tidak pandai menyusun kalimat di depan bibir itu. Atau, lebih tepatnya dia takut mengucapkan lebih banyak kata-kata karena akan berarti lebih banyak lagi kesalahan yang dapat saja dilakukannya menurut logika bibir itu yang mengakibatkan bibir itu akan mengeluarkan lebih, lebih, lebih dan lebih banyak lagi hamburan kata-kata yang sangking terlampau banyak tidak dapat dicerna oleh otaknya dengan baik dan kepalanya kemudian akan menjadi seperti sebuah komputer yang cupu, tidak mampu memproses data lalu macet, hang. Kemudian ia jadi sering merasa mual, pening dan gelisah setiap melihat bibir itu.

Entahlah, katanya perlahan, karena getar-getar bibir itu membuatnya tidak tega untuk berdiam diri lebih lama lagi.

“Ehemm…” Laki-laki itu membersihkan tenggorokannya yang mendadak rasanya tercekat oleh serpihan-serpihan kerikil yang masuk entah dari mana. “Mungkin karena bibirmu,” katanya akhirnya, karena setelah berpikir begitu keras memang hanya itu saja yang terbayang-bayang di kepalanya.

“Bibirku? Apa yang salah dengan bibirku! Aku pikir kamu menyukai bibirku! Memangnya bibirnya lebih indah dari bibirku?”

“Bukan begitu maksudku.”

“Jadi? Lebih seksi?”

Lelaki itu menatap bibir bekas isterinya dan melihat, amboi…betapa manis sesungguhnya memang bibir itu dari jarak aman ini, ia tidak memiliki keinginan untuk lebih mendekat atau melakukan apapun dengan bibir itu, karena selalu saja ia mendapatkan dirinya dan harga dirinya kemudian terkapar di suatu tempat dan waktu yang membingungkan.
“Bukan itu.”

“Lebih pandai mencium?”

“Bukan itu.”

“Kamu hanya bisa bilang bukan itu, bukan itu, bukan itu, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang! Apa sih maksudnya! Kenapa berbicara dengan kamu selalu saja membosankan!”

“Maaf…”

Bibir itu merapat.

“Kenapa harus minta maaf? Kamu menyesal karena berselingkuh kan? Padahal kamu pernah berjanji bahwa kamu akan selalu mencintai aku, menghormati aku, tidak akan pernah menyakiti aku, dan katamu sendiri, tidak ada perempuan lain yang mampu mencintai kamu seperti aku mencintai kamu. Kenapa kamu justru ingkar janji! Kenapa justru memilih untuk bersama dia daripada aku?”

Banyaknya pertanyaan yang meluncur sekaligus dari bibir itu membuat mantan suaminya merasa tegang sekali, bahkan lebih menegangkan daripada dimarahi oleh atasannya di kantor. Laki-laki itu merasa tidak memiliki jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu dan ia pun tidak dapat mendeteksi mana yang aman untuk dijawab dan mana yang adalah ranjau darat yang bila diinjak akan mengakibatkan ledakan yang dahsyat dan menghancurkannya berkeping-keping. Dasar pengecut! Dia memaki dirinya sendiri, karena dia sadar dia memang merasa sangat kecut sekali. Ah! Pusing jadinya. Dia memijat-mijat pelipis kirinya yang berdenyut-denyut.
“Kamu kenapa sih? Selalu saja begitu kalau diajak bicara serius! Selalu pura-pura sakit kepala. Aku kan tidak menanyakan hal yang sulit atau terlampau mustahil untuk dijawab! Aku hanya ingin kamu jujur! JUJUR! Bukannya jadi pengecut terus, menghindar terus!”

Dan kepala laki-laki itu semakin pusing jadinya, apalagi karena beberapa orang di meja sebelah mulai tertarik ikut mendengarkan percakapan mereka yang saat ini lebih mirip sebuah monolog dari bibir itu. Ada beberapa yang bahkan nampak sekali sangat tertarik dengan gerak-gerik bibir itu. Tidak dapat disalahkan, pikir laki-laki itu, dulupun dia merasa seperti itu, bahkan lebih terbius, lebih tergila-gila, dan rasa-rasanya tidak mungkin ada yang lebih lembut lagi dari bibir itu yang rasanya seperti gulali ketika disentuh, begitu enak untuk dinikmati, bagaimana mungkin bibir secantik itu bisa melukai seperti pedang, merobek-robek seperti cakar, dan menusuk-nusuk seperti sembilu?

Tidak mungkin kan rasa-rasanya. Bibir seperti itu gunanya untuk tersenyum, menyejukkan hati. Mencium, mendebarkan sanubari. Menyapa, mengelus-elus kerinduan. Dan tertawa, membuat matahari bersinar lebih lembut saat siang terik. Itulah yang ingin sekali ditemukannya pada bibir itu.

“Pelankan sedikit suaramu, kita ada di tempat umum.”

“Aahhh,” bibir itu bergerak naik, tanggung, membentuk sebuah senyum sinis, “jadi kamu malu ya?’ bisikannya mengejek.

“Kamu malu karena suaraku keras, begitu? Kalau berselingkuh itu tidak memalukan ya!”

Suara yang keluar dari bibir itu berdentum keras sekali sangat mengejutkan, berbanyak kepala langsung menoleh ke meja mereka dan laki-laki itu menemukan dirinya menjadi pusat perhatian, mata-mata para perempuan mendelik dan beberapa laki-laki agak salah tingkah sementara yang sebagian malah tersenyum mencemooh.
“Ssstt…” Serba salah laki-laki itu menengok ke kiri dan ke kanan. “Sebaiknya aku pergi saja karena ternyata kamu masih terlalu emosi.”

“Bagus! Pergi saja sana! Melarikan diri. Ya. Kamu memang ahlinya! Selalu saja begini ini, tidak bertanggungjawab!”

Bibir itu bergerak turun naik ke kiri dan ke kanan, dan di kepala laki-laki itu timbul pertanyaan, bagaimana mungkin dia pernah mencium bibir yang seperti itu di suatu masa yang rasanya sudah berabad-abad yang lampau? Bagaimana caranya bertahan tetap waras berhadapan dengan bibir itu selama lima tahun hidup pernikahan mereka?

Saat bibir itu mencang-mencong di hadapannya dia tidak lagi mampu mencerna kata-kata yang mengucur begitu deras dari bibir itu. Dia bahkan tidak lagi dapat mendengar suara apapun! Secara naluriah, laki-laki itu menutup indera pendengarannya dan menyisakan visualisasi dari drama yang terjadi di depan matanya ini, sambil berpikir, kapan semuanya akan berakhir ya?

Konsentrasinya pada bibir itu membuatnya mampu menangkap garis-garis halus di bibir itu, lekukan atasnya yang sensual dan sempurna, warna lembut lipstick yang masih melekat dengan sangat apik yang nampaknya tidak akan berguguran walau terguncang-guncang, juga sebuah dekik yang timbul tenggelam di sebelah kiri bibir itu, dan kekenyalan bibir itu yang begitu nyata, begitu elastisnya bibir itu sehingga tidak jadi masalah ditarik ke kiri atau ke kanan, mencong ke atas atau ke bawah, luarbiasa. Tapi, apakah bibir itu sendiri tidak pernah merasa lelah? Dalam hati laki-laki itu mempertanyakan. Kalau saja dia bisa bertanya langsung kepada bibir itu, apa yang dirasakannya saat dihempas-hempas begitu rupa oleh pemiliknya, satu saat ditarik ke sana dan dilain saat ke sini. Tiba-tiba saja dia merasa sangat, sangat, sangat, sangat kasihan kepada bibir itu.

“Jawaaaaaab!” Tiba-tiba saja dinding pelindung anti-suaranya pecah berantakan. Bibir itu sekarang berguncang-guncang, laki-laki itu terkejut, apakah itu sebuah isakan? Dia merasa diterobos oleh rasa kasihan, yang sudah lama tidak mampir di hatinya. Saat itu dia merasa berhadapan bukan lagi dengan pedang, tapi gulali yang mulai meleleh karena dibiarkan terlalu lama di bawah matahari. Kasihan.
“Sebaiknya kamu pulang, ayo aku antar.”

Tiba-tiba saja dia menemukan dirinya bisa berbicara tegas, dan dengan takjub menemukan tidak ada perlawanan dari bibir itu maupun anggota-anggota tubuh yang lainnya. Digandengnya bekas isterinya ke luar dari tempat minum kopi itu.

“Bibirmu,” kata lelaki itu sambil menatap jalan di depan kemudi, “itulah masalah kita.”

“Tapi…”

“Biarkan aku bicara dulu, bukankah kamu selalu berkata ingin ada jawaban? Boleh kan aku mencoba menjawab, dan kamu mencoba mendengarkan? Lagipula, aku kasihan dengan bibirmu, kalau dieksploitasi terus-menerus. Bibir itu perlu istirahat juga dan memberikan kesempatan kepada telinga untuk bisa mendengar suara lain selain suara-suara milikimu sendiri. Bisa kan?”

Bibir itu bergerak seakan hendak melakukan sesuatu lalu tiba-tiba saja tidak jadi melakukannya. Kepala perempuan itu mengangguk, matanya beralih memandang jalan di depannya.
“Jadi, boleh aku bicara?”

Laki-laki itu menepikan mobil, jalan lengang, seakan memang seluruh semesta mempersiapkan tempat dan ruang untuk mereka saat itu. Atau lebih tepatnya, untuk laki-laki itu, saat ini.

“Aku pernah mencintaimu. Kamu tahu itu. Bahwa aku sungguh-sungguh jatuh cinta dan mencintaimu ketika kita menikah. Ya, aku memang mencintai bibir itu, karena, bila di matamu aku bisa berkaca dan menemukan diriku, di bibirmu aku menemukan cinta, dan kegairahan. Di lekuk-lekuk senyummu ada semangat dan kekuatanku untuk meraih masa depan. Aku bahkan mau mempertaruhkan hidupku demi bibir itu, demi merekahnya senyum, dan derai tawa, yang membuat jantungku berdebar-debar melaju ditengah kemacetan jalan saat pulang kerja sehingga rasanya semakin tersiksa karena aku ingin sekali segera pulang agar dapat mengecup sudut-sudutnya.”

“Lalu, mengapa…”

Laki-laki itu memberi isyarat dengan tangannya, dan bekas isterinya menggigit bawah bibirnya, menahan diri.
“Lalu mengapa kita bercerai?”

Laki-laki itu menebak dengan tepat. Karena itu adalah pertanyaan yang sama yang diajukannya berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Bekas isterinya mengangguk, bibirnya terbuka sedikit, dan matanya berkaca-kaca.
“Ya, mengapa? Aku sendiri heran, mengapa semakin lama aku malah semakin menikmati jam-jam lemburku dan mengharapkan waktu-waktu kerja menjadi lebih panjang. Aku bahkan sering berharap terjebak saja terus di tengah-tengah kemacetan. Mengapa? Karena aku tidak lagi menemukan debaran-debaran jantung ketika berhadapan dengan bibirmu, yang aku dengar hanya bergodam-godam palu kecurigaan dan tuduhan yang pada mulanya aku tidak mengerti dari mana asalnya. Akhirnya, setiap kali aku memandangmu dan bibirmu mulai berbicara, yang aku rasakan adalah rasa mulas di perutku, bukan lagi seperti kupu-kupu yang naik turun tetapi lebih mirip sengatan sekawanan lebah yang menyerang lambungku, karena begitu bibirmu terbuka, bukan madu yang keluar namun begitu banyak dakwaan yang, pada mulanya, tidak berdasar.”

Laki-laki itu menatap perempuan cantik di sampingnya.

“Sungguh. Aku tidak pernah berniat mengkhianati, berselingkuh, tidak pernah selintaspun. Namun kemudian, aku berpikir, mengapa tidak? Mungkin dengan begitu kamu akan merasa puas, merasa menang, bahwa aku memang suami kalahan. Kuakui bahwa aku lelah dihukum untuk sebuah kesalahan yang tidak aku lakukan, dan godaan yang datang, yang pada awalnya sama sekali tidak punya arti, tidak punya peluang, menjadi sebuah jalan alternatif bagiku. Mungkin imanku yang tidak kuat, atau malam-malam kita yang terlalu banyak diisi dengan kebekuan. Atau dua-duanya. Yang pasti, aku jatuh. Aku mengaku kalah. Aku memang bersalah. Aku minta maaf. Namun nampaknya dosaku sudah terlampau besar. Aku tidak pernah menghendaki kita berpisah, kamu yang menginginkannya, dan aku tidak punya keberanian atau kemampuan untuk mempertahankan apa yang memang tidak kamu anggap perlu untuk dipertahankan lagi… Maafkan aku. Karena aku tidak mampu pulang, aku mencari kedamaian di bibir yang lain, dan aku sudah menemukannya. Aku memang pengecut. Bahkan tidak berani mengecup bibirmu saat aku sangat ingin melakukannya karena aku takut lidahku tidak mampu merasakan rasa yang lain selain rasa pahit” Laki-laki itu mengedipkan matanya, ada air yang membuat matanya berkaca-kaca.
“Masih ingat? Dulu kau pernah bilang bibirku rasanya seperti es krim vanila dan lembut seperti gulali,” kata perempuan itu lirih, sebuah senyum rawan menggantung di bibirnya, manis sekaligus sangat pahit.
Laki-laki itu mengangguk. Oh, masa-masa yang sangat indah di sebuah waktu yang berbeda dan begitu jauh. Ia menghela nafas dalam diam, betapa terlambatnya.

“Kita sudah benar-benar gagal bukan?” perempuan itu berbisik.
“Kita sudah pergi terlalu jauh dan kehilangan jalan pulang.”

Perempuan itu menatap laki-laki itu dengan pandangan yang berbeda, “Seandainya aku lebih banyak mendengarkan?’’

“Aku akan lebih mudah berbicara.”

“Kalau kau lebih mudah berbicara?”

“Kau akan lebih mudah mendengarkan dan kita akan lebih mudah saling mengerti.”

“Seandainya kita lebih mudah saling mengerti?”

“Kita akan lebih banyak berciuman.”

“Kalau kita lebih banyak berciuman?”

“Kita akan lebih mudah bergandengan.”

“Kalau kita lebih mudah bergandengan?”

“Kita tidak akan pernah terlalu mudah untuk saling melepaskan.”

Ah, ada sebutir bening jatuh diujung bibir itu, dan lelaki itu mengusapnya lembut dengan jari telunjuknya. Mereka sudah sampai di persimpangan tempat dia dan pemilik bibir manis itu harus berpisah. Tetapi sedetik saja pada saat ini, ingin sekali disimpannya tetes bening itu di dalam sakunya. Namun, ketika dirabanya sakunya itu, sudah penuh, terisi dengan cinta untuk sebuah bibir yang lain.

Jakarta 24 Juni 2003.

Memaknai Aries

Cerita Pendek Dewi Alizar

Aries..! Lelaki berlambang zodiak biri-biri jantan ini selalu meninggalkan kesan bagiku. Entah itu kesan baik ataupun tidak, yang penting telah menggoreskan kenangan dalam kehidupanku. Sebelum mencari tahu tentang Aries dari buku astrologi dan membandingkannya dengan bintangku, terlebih dahulu aku ingin memberi perbandingan dengan sifat ayah, karena Aries adalah juga zodiak ayahku!

Aries Ayahku! Ayah pendiam dan tak pernah marah, tapi agak pendendam. Ayah penuh semangat, giat bekerja dan tekun dalam melakukan. Ayah penuh perhitungan, punya perencanaan, dan pandai mengelola keuangan. Ayah tidak suka dikekang, tapi kadang minta diperhatikan. Ayah gemar olah raga terutama sepak bola yang membuatnya sering begadang. Lalu kata ibu, Ayah tidak romantis tapi pencemburu meski tak berlebihan!

Siapa Aries selain ayah yang memberi kesan? Ada beberapa nama yang rasanya tak perlu kusebutkan. Diantara mereka punya sifat yang hampir sama dengan ayah meski jumlahnya masih kurang dari delapan. Hingga akhirnya aku tertarik mencari makna dibalik zodiak berelemen api yang menaungi orang-orang berkelahiran 21 Maret hingga 20 April, yang ulang tahunnya bulan depan.

Aries pendiam dan sedikit pemalu! Setidaknya itu yang bisa kulukiskan dari penggambaran ayahku. Dan setidaknya juga, tiga pria yang kukenal selain ayah, punya sifat seperti itu. Meski kujumpai dua Aries lainnya punya sifat bertolak belakang, emosional dan banyak komentar, tapi ada perbandingan 4 : 2 dibawah naungan bintang yang satu.

Aries pendendam! Ini menjadi benang merah dalam pikiranku. Aku punya perbandingan 5 : 1 untuk sifat yang sesungguhnya tidak baik itu. Ayah memang tak pernah dendam padaku. Ayah mana di dunia ini yang mau mendendam darah dagingnya, apalagi anak kesayangannya adalah aku! Tapi aku pernah merasakan beberapa kali didendam lelaki Aries selain ayahku. Kata ramalan zodiak, Aries memang bertentangan dengan bintangku. Karena Aries dan bintangku sama-sama berhati batu. Tapi menurutku, tak selamanya Aries seperti itu.

Aries penuh semangat dan giat bekerja! Untuk yang satu ini, aku punya perbandingan 6 : 0, tepatnya semua Aries gila kerja. Bahkan kadang tak punya waktu untuk bercanda. Bekerja adalah hobi dan hal paling utama. Tak ada Aries yang gemar bermalasan dan berpangku tangan saja. Itulah mengapa dulu seorang teman pernah berkata, Aries termasuk salah satu bintang yang diutamakan jika ia merekrut karyawan untuk bekerja di tempatnya.

Aries penuh perhitungan dan pandai mengelola keuangan. Aku punya perbandingan 5 : 1 karena umumnya Aries tidak suka jajan. Aries sangat hemat dan hitung-hitung jika hendak mengeluarkan uang. Aries punya rencana keuangan dan sangat teliti jika akan membeli suatu barang. Aries bukan makhluk pemboros, tidak suka foya-foya dan tak peduli apa kata orang. Meski begitu, Aries tak jarang rela membelikan orang yang dicintainya barang-barang bagus sebagai kejutan.

Aries tidak suka diatur! Kembali aku mendapati perbandingan 6 : 0 untuk sifat Aries yang satu ini. Meskipun sebenarnya sifat ini dimiliki oleh umumnya manusia, tapi Aries bisa memberontak dengan dahsyatnya jika menurutnya ia telah dizalimi. Awalnya Aries tampak jinak, mudah dibawa ke sana-sini dan mau menuruti. Tapi suatu saat Aries akan memperlihatkan gigi dengan emosi yang tak terbendungi. Lalu Aries berkata, “Saya tidak suka diatur dan dihakimi!”

Aries gila bola! Perbandinganku 4 : 2 untuk hobi yang umumnya didominasi kaum pria ini. Demi olah raga memperebutkan satu bola oleh 22 manusia di satu lapangan, para Aries rela tidak tidur sampai pagi atau cedera di sana-sini. Tak jarang pula Aries dengan suka-cita berdesakan demi menyaksikan pertandingan kesebelasan tim kesayangan. Aries sangat senang bertemu dengan teman-teman pecinta bola tempat bercerita tim unggulan. Mungkin itu yang menyebabkan Aries lebih solider terhadap teman daripada pasangan.

Aries tidak romantis tapi pencemburu! Meski aku mendapat cerita ini dari ibu, tapi akupun pernah merasakan diperlakukan Aries sama seperti ibu. Perbandingan untuk ini, 5 termasuk ayah : 1. Aries kurang pandai merayu. Aries juga jarang menyanjung wanita jika tidak terlalu perlu. Bunga dan cokelat bukan sesuatu yang bermutu. Aries lebih pintar mendekatkan diri dengan keluargaku daripada aku. Sedangkan di keluarganya, Aries selalu dibutuhkan karena kepeduliannya pada ayah dan ibu. Meski tidak romantis, Aries sebenarnya penyayang bahkan pencemburu. Aries sangat cinta pada keluarga dan anak-anaknya meski kadang suka mengatur pasangan karena sifat cemburu itu.

Hanya itu beberapa sifat ayah yang bisa kubandingkan dengan para lelaki Aries yang pernah singgah dulu. Kini aku ingin mencari tahu makna sebenarnya yang kudapatkan dari ilmu astrologi dan ramalan bintang lewat buku.Menurut ramalan, Aries dipengaruhi oleh planet Mars dengan pasangan zodiak Leo dan Sagitarius, yang terakhir adalah bintangku.
Aries punya watak pribadi yang kuat, pikiran cerdas, rajin berusaha untuk mencapai keinginan, semua sifat ini hampir sama dengan pribadi ayahku.

Aries merupakan tanda pertama dari zodiak. Karena itu Aries selalu nomor satu dalam segala bidang dan akan sedih jika merasa diremehkan. Aries selalu memulai ide baru sehingga sering menimbulkan persoalan dan kesulitan. Aries tak pernah mampu belajar dari pengalaman. Aries memerlukan orang lain sebagai pendengar dan jangan coba menasehati Aries, karena mereka tak akan mau mendengar. Aries merupakan lawan yang tangguh dalam sebuah konflik dan tidak menyukai pekerjaan yang menyenangkan dan tenang karena Aries lebih senang pekerjaan mengandung banyak tantangan. Orang Aries lebih berhasil kerja sendiri daripada bergabung dengan orang.

Menurut ilmu astrologi lagi, Aries selalu ingin mendapatkan apa yang diinginkannya saat itu juga. Aries mengubah suatu planet menjadi peluru berwarna merah yang menembak terlebih dahulu sebelum memikirkan akibatnya. Aries suka bersaing, tidak mau menyerah pada tantangan, dan tak pernah punya waktu untuk bersikap curang.

Menurutku, hampir benar ramalan sifat-sifat itu dengan kenyataan sebenar. Aku menemukan 5:1 untuk tangguh dalam konflik, suka bersaing, tak mau diremehkan, dan tak mau mendengar. Umumnya Aries yang kukenal pernah bercerita, terlibat konflik dengan teman sekantor atau atasan, meski tak terlalu besar.

Untuk urusan cinta, ramalan astrologi yang kubaca ternyata patut kupertanyakan. Jika disebutkan Aries sulit menerima cinta karena mengira cinta akan mengekang mereka, mungkin tak sepenuhnya benar. Karena yang kutahu Aries umumnya mudah terlibat cinta meski tidak terlalu sering bercinta serius dengan orang. Meski pernah bermain api, lelaki Aries termasuk tipe setia dan patuh pada komitmen dan pasangan.

Kali ini aku ingin membandingkan Aries dengan bintangku. Aries berelemen api, sama dengan bintangku. Api bersifat tak dapat ditahan, bersemangat, antusias, spontan dan hangat. Tanda-tanda api bersifat kreatif, ekspresif dan berani. Aries dan Sagitarius sama-sama tidak takut untuk bertindak impulsive atau menanggung resiko untuk meraih suatu kesempatan. Aries dan Sagitarius sama-sama dinamis, enerjik, dan percaya diri. Api juga mewakili tingkat spiritual dan inspirasional dalam kehidupan ini.

Tak hanya itu, Aries dan Sagitarius sama-sama berjenis maskulin. Maskulin termasuk ekstrovert dan agresif, berani mengejar apa yang diinginkan dan mengutarakan pikiran, serta lebih suka menyerang daripada bertahan.

Meski punya banyak kesamaan, tapi tidak sedikit pula perbedaan Aries dan bintangku. Jika Aries dipengaruhi Mars, Sagitarius yang berlambang orang berkuda sedang memanah, dipengaruhi Yupiter. Sagitarius berwatak keras dalam pendirian, tidak mudah putus asa, serta tak mengenal istilah gagal.

Anak panah yang siap ditembakkan merupakan target kehidupan seorang Sagitarius. Sagitarius juga memiliki perasaan ingin tahu yang besar dan selalu merasa perlu menganalisa apa yang pernah didengar. Banyak Sagitarius menikmati popularitas dan berdiri tegak pada kaki sendiri. Di masa kecil, Sagitarius sering dituduh tidak bertanggung jawab karena terlalu berani mengambil resiko untuk dirinya maupun orang lain. Sagitarius selalu sanggup belajar dari sejarah dan menyukai tantangan.

Sagitarius berusaha menunda pernikahan sejauh mungkin, karena pernikahan dianggap sebagai belenggu kebebasan. Begitu pula dalam memilih karier, syarat utama bagi Sagitarius adalah kebebasan.

Jika Aries mengandung azas utama, Sagitarius berazas ubah-ubah. Sagitarius dianggap lebih fleksibel dan memiliki berbagai bakat. Sagitarius bisa beradaptasi dengan mudah bila dihadapkan pada suasana baru. Perhatian Sagitarius juga sangat mudah beralih karena menggemari variasi. Berbeda dengan Aries yang agak sulit beradaptasi dan senang melakukan sesuatu secara pribadi.

“Yang jelas, Aries keras hati,”kataku pada Indra setelah membolak-balik buku ramalan bintang di siang ini.
“Sagitarius lebih egois. Lihat saja selebritis berbintang Sagitarius, lebih banyak cerai daripada harmonis,”kata Indra tak mau kalah.
“Yang lebih pasti, kita sama-sama berelemen api dan berjenis maskulin. Kita sama-sama tak mau kalah dan suka menyerang. Tak akan ada yang mau mengalah dalam mempertahankan pendapat hingga sore menjelang,”kataku lagi.
“Meski begitu, menurut ramalan, Aries dan Sagitarius adalah pasangan ideal,”kata Indra akhirnya mengakhiri perdebatan.***

Batam, Februari 2008
Untuk semua yang berbintang Aries!
Selamat Ultah!