Senin, 31 Mei 2010

Bibir

Februari 13th, 2008 by Ge

“Sepertinya kita pernah bersebelahan jiwa,” kata perempuan itu kepada laki-laki yang duduk berhadapan dengannya, hanya sepotong kayu imitasi yang dinamakan coffee table dan dua mug gemuk kopi hangat masih berasap menjembatani ruang antara mereka berdua dari kursinya masing-masing. “Atau setidaknya kita pernah yakin tentang hal itu.”

Laki-laki itu mengangkat pandangannya dari merenungi asap-asap tipis yang keluar dari mug-nya dan menatap perempuan itu, ia menemukan dirinya merasa sangat asing. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menjawab, “Mungkin aku memang tidak penah mampu untuk mengerti kamu. Mungkin otakku yang bebal. Kata-katamu selalu saja asing bagi telingaku, namun selalu saja keluar dengan wajar dari bibirmu.”

Dan bibir itu sangat manis bentuknya, namun tidak lagi menimbulkan rasa ingin. Ah, laki-laki itu menggelengkan kepalanya dengan heran. Ia merasa seperti orang mabuk, namun tidak tahu lagi karena apa dan dimana. Beberapa putaran musim yang lalu bukankah hanya bibir itu yang ada dalam ingatannya sepanjang pagi, siang dan malam, dan pagi lagi, tidak pernah berhenti melingkar-lingkarkan jerat di dalam kepalanya. Cara bibir itu bergerak saat bicara, sudut-sudutnya yang naik turun tergantung emosi pemiliknya, merekahnya ketika minum kopi dan mengintipkan gigi putih yang sangat cocok untuk iklan pasta gigi ketika mengigit sepotong kue. Bukankah bibir itu yang dikulumnya tanpa puas ketika gairah-gairah mereka memuncak di malam-malam penuh gelegak yang mereka reguk bersama-sama. Mengapa semuanya saat ini rasa-rasanya tidak pernah benar-benar terjadi tak dapat dimengerti oleh pikirannya yang biasanya jago mengkalkulasi rumusan-rumusan jual-beli, untung dan rugi.

“Apa yang sudah terjadi?” Bibir itu bergerak turun seirama dengan ekspresi di wajahnya yang bebas jerawat, bebas komedo, bebas kerut-merut dan halus rupawan itu.

Perempuan itu melihat bagaimana bekas suaminya menggelengkan kepala dengan cara yang sangat khas, seakan mencoba menebak sesuatu. Dan laki-laki itu memang sedang mencoba menebak apakah pertanyaan yang barusan keluar dari bibir itu adalah sebuah pertanyaan sungguhan ataukah jebakan seperti yang seringkali terjadi dalam pembicaraan mereka.

“Sudah makan ya?” tanya bibir itu.
“Sudah,” jawab laki-laki itu seraya mencoba mencium kemanisannya.
“Kok nggak ngajak-ngajak?” Bibir itu menurun membentuk kurva setengah lingkaran dan lampu merah di kepala laki-laki itu mulai berkedip-kedip.

“Lho, waktu aku telpon katamu kamu tidak suka masakan Itali dan kamu ada janji dengan teman-temanmu mau shopping. Jadi aku kira kamu pasti tidak mau ikut.”

“Aku memang tidak suka, tapi kan kamu bisa menawarkannya kepadaku.”

Hm, laki-laki itu garuk-garuk kepala.

“Ya sudah, kalau kamu mau kita pergi makan berduaan saja sekarang. Mau kan?”

“Jangan merubah pembicaraan! Kamu makan-makan dengan siapa-siapa saja tadi?”

“Lho…ya dengan teman-teman kantor.”

“Pasti ada dia!” Bibir itu melancip, tajam sekali, seperti pedang dan berkilau-kilau karena lipgloss-nya. Laki-laki itu tanpa sadar merasa bergidik. Kok jadi menakutkan sekali?
“Dia siapa sih?”

“Pura-pura tidak mengerti. Ya, dia. Siapa lagi? Pasti ada perempuan itu.”

“Perempuan yang mana lagi?”

“Wulan, yang janda cantik itu!”

“Ya iyalah, bukan, maksudku bukan janda cantiknya, tapi memang iya Wulan ada, Angki juga, Jeffry juga, Asep juga, pokoknya semuanya. Aku sudah bilang akan makan dengan rekan-rekan kerjaku, iya kan?”

“Sebal aku! Itu sebabnya kamu tidak mau aku ikut, supaya kamu bisa main mata dengan leluasa, iya kan?!?!”

“Lho, lho… Apa-apaan sih kamu? Jangan cemburu yang tidak-tidak dong.”

“Pasti! Makanya aku tidak diajak!”

Jelas sekali tuduhan dan tudingan tersirat dari bibir itu. Maka malam itu kemudian menjadi malam yang sangat dingin, hampir-hampir membekukan, ciumannya pun membentur gunung batu yang menjulang tinggi dan menukik tajam di sudut-sudut dan lekuk-lekuk bibir itu.

Maka, laki-laki itu kemudian berlatih untuk diam sejenak sebelum menjawab segala sesuatu yang keluar dari bibir itu, betapapun manis dan lembutnya terdengar di telinga, karena dua tambah dua tidak selalu menjadi empat dalam kalkulasi pemikiran otak yang terletak dua jengkal saja jauhnya dari bibir itu. Atau, bila ia tidak yakin pada jawabannya maka dia akan membisu seribu bahasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Bibir itu kembali menyadarkannya dari kenangan yang sempat menyerempet ingatannya tadi. Laki-laki itu mengangkat bahu. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena dia tidak pandai menyusun kalimat di depan bibir itu. Atau, lebih tepatnya dia takut mengucapkan lebih banyak kata-kata karena akan berarti lebih banyak lagi kesalahan yang dapat saja dilakukannya menurut logika bibir itu yang mengakibatkan bibir itu akan mengeluarkan lebih, lebih, lebih dan lebih banyak lagi hamburan kata-kata yang sangking terlampau banyak tidak dapat dicerna oleh otaknya dengan baik dan kepalanya kemudian akan menjadi seperti sebuah komputer yang cupu, tidak mampu memproses data lalu macet, hang. Kemudian ia jadi sering merasa mual, pening dan gelisah setiap melihat bibir itu.

Entahlah, katanya perlahan, karena getar-getar bibir itu membuatnya tidak tega untuk berdiam diri lebih lama lagi.

“Ehemm…” Laki-laki itu membersihkan tenggorokannya yang mendadak rasanya tercekat oleh serpihan-serpihan kerikil yang masuk entah dari mana. “Mungkin karena bibirmu,” katanya akhirnya, karena setelah berpikir begitu keras memang hanya itu saja yang terbayang-bayang di kepalanya.

“Bibirku? Apa yang salah dengan bibirku! Aku pikir kamu menyukai bibirku! Memangnya bibirnya lebih indah dari bibirku?”

“Bukan begitu maksudku.”

“Jadi? Lebih seksi?”

Lelaki itu menatap bibir bekas isterinya dan melihat, amboi…betapa manis sesungguhnya memang bibir itu dari jarak aman ini, ia tidak memiliki keinginan untuk lebih mendekat atau melakukan apapun dengan bibir itu, karena selalu saja ia mendapatkan dirinya dan harga dirinya kemudian terkapar di suatu tempat dan waktu yang membingungkan.
“Bukan itu.”

“Lebih pandai mencium?”

“Bukan itu.”

“Kamu hanya bisa bilang bukan itu, bukan itu, bukan itu, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang! Apa sih maksudnya! Kenapa berbicara dengan kamu selalu saja membosankan!”

“Maaf…”

Bibir itu merapat.

“Kenapa harus minta maaf? Kamu menyesal karena berselingkuh kan? Padahal kamu pernah berjanji bahwa kamu akan selalu mencintai aku, menghormati aku, tidak akan pernah menyakiti aku, dan katamu sendiri, tidak ada perempuan lain yang mampu mencintai kamu seperti aku mencintai kamu. Kenapa kamu justru ingkar janji! Kenapa justru memilih untuk bersama dia daripada aku?”

Banyaknya pertanyaan yang meluncur sekaligus dari bibir itu membuat mantan suaminya merasa tegang sekali, bahkan lebih menegangkan daripada dimarahi oleh atasannya di kantor. Laki-laki itu merasa tidak memiliki jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu dan ia pun tidak dapat mendeteksi mana yang aman untuk dijawab dan mana yang adalah ranjau darat yang bila diinjak akan mengakibatkan ledakan yang dahsyat dan menghancurkannya berkeping-keping. Dasar pengecut! Dia memaki dirinya sendiri, karena dia sadar dia memang merasa sangat kecut sekali. Ah! Pusing jadinya. Dia memijat-mijat pelipis kirinya yang berdenyut-denyut.
“Kamu kenapa sih? Selalu saja begitu kalau diajak bicara serius! Selalu pura-pura sakit kepala. Aku kan tidak menanyakan hal yang sulit atau terlampau mustahil untuk dijawab! Aku hanya ingin kamu jujur! JUJUR! Bukannya jadi pengecut terus, menghindar terus!”

Dan kepala laki-laki itu semakin pusing jadinya, apalagi karena beberapa orang di meja sebelah mulai tertarik ikut mendengarkan percakapan mereka yang saat ini lebih mirip sebuah monolog dari bibir itu. Ada beberapa yang bahkan nampak sekali sangat tertarik dengan gerak-gerik bibir itu. Tidak dapat disalahkan, pikir laki-laki itu, dulupun dia merasa seperti itu, bahkan lebih terbius, lebih tergila-gila, dan rasa-rasanya tidak mungkin ada yang lebih lembut lagi dari bibir itu yang rasanya seperti gulali ketika disentuh, begitu enak untuk dinikmati, bagaimana mungkin bibir secantik itu bisa melukai seperti pedang, merobek-robek seperti cakar, dan menusuk-nusuk seperti sembilu?

Tidak mungkin kan rasa-rasanya. Bibir seperti itu gunanya untuk tersenyum, menyejukkan hati. Mencium, mendebarkan sanubari. Menyapa, mengelus-elus kerinduan. Dan tertawa, membuat matahari bersinar lebih lembut saat siang terik. Itulah yang ingin sekali ditemukannya pada bibir itu.

“Pelankan sedikit suaramu, kita ada di tempat umum.”

“Aahhh,” bibir itu bergerak naik, tanggung, membentuk sebuah senyum sinis, “jadi kamu malu ya?’ bisikannya mengejek.

“Kamu malu karena suaraku keras, begitu? Kalau berselingkuh itu tidak memalukan ya!”

Suara yang keluar dari bibir itu berdentum keras sekali sangat mengejutkan, berbanyak kepala langsung menoleh ke meja mereka dan laki-laki itu menemukan dirinya menjadi pusat perhatian, mata-mata para perempuan mendelik dan beberapa laki-laki agak salah tingkah sementara yang sebagian malah tersenyum mencemooh.
“Ssstt…” Serba salah laki-laki itu menengok ke kiri dan ke kanan. “Sebaiknya aku pergi saja karena ternyata kamu masih terlalu emosi.”

“Bagus! Pergi saja sana! Melarikan diri. Ya. Kamu memang ahlinya! Selalu saja begini ini, tidak bertanggungjawab!”

Bibir itu bergerak turun naik ke kiri dan ke kanan, dan di kepala laki-laki itu timbul pertanyaan, bagaimana mungkin dia pernah mencium bibir yang seperti itu di suatu masa yang rasanya sudah berabad-abad yang lampau? Bagaimana caranya bertahan tetap waras berhadapan dengan bibir itu selama lima tahun hidup pernikahan mereka?

Saat bibir itu mencang-mencong di hadapannya dia tidak lagi mampu mencerna kata-kata yang mengucur begitu deras dari bibir itu. Dia bahkan tidak lagi dapat mendengar suara apapun! Secara naluriah, laki-laki itu menutup indera pendengarannya dan menyisakan visualisasi dari drama yang terjadi di depan matanya ini, sambil berpikir, kapan semuanya akan berakhir ya?

Konsentrasinya pada bibir itu membuatnya mampu menangkap garis-garis halus di bibir itu, lekukan atasnya yang sensual dan sempurna, warna lembut lipstick yang masih melekat dengan sangat apik yang nampaknya tidak akan berguguran walau terguncang-guncang, juga sebuah dekik yang timbul tenggelam di sebelah kiri bibir itu, dan kekenyalan bibir itu yang begitu nyata, begitu elastisnya bibir itu sehingga tidak jadi masalah ditarik ke kiri atau ke kanan, mencong ke atas atau ke bawah, luarbiasa. Tapi, apakah bibir itu sendiri tidak pernah merasa lelah? Dalam hati laki-laki itu mempertanyakan. Kalau saja dia bisa bertanya langsung kepada bibir itu, apa yang dirasakannya saat dihempas-hempas begitu rupa oleh pemiliknya, satu saat ditarik ke sana dan dilain saat ke sini. Tiba-tiba saja dia merasa sangat, sangat, sangat, sangat kasihan kepada bibir itu.

“Jawaaaaaab!” Tiba-tiba saja dinding pelindung anti-suaranya pecah berantakan. Bibir itu sekarang berguncang-guncang, laki-laki itu terkejut, apakah itu sebuah isakan? Dia merasa diterobos oleh rasa kasihan, yang sudah lama tidak mampir di hatinya. Saat itu dia merasa berhadapan bukan lagi dengan pedang, tapi gulali yang mulai meleleh karena dibiarkan terlalu lama di bawah matahari. Kasihan.
“Sebaiknya kamu pulang, ayo aku antar.”

Tiba-tiba saja dia menemukan dirinya bisa berbicara tegas, dan dengan takjub menemukan tidak ada perlawanan dari bibir itu maupun anggota-anggota tubuh yang lainnya. Digandengnya bekas isterinya ke luar dari tempat minum kopi itu.

“Bibirmu,” kata lelaki itu sambil menatap jalan di depan kemudi, “itulah masalah kita.”

“Tapi…”

“Biarkan aku bicara dulu, bukankah kamu selalu berkata ingin ada jawaban? Boleh kan aku mencoba menjawab, dan kamu mencoba mendengarkan? Lagipula, aku kasihan dengan bibirmu, kalau dieksploitasi terus-menerus. Bibir itu perlu istirahat juga dan memberikan kesempatan kepada telinga untuk bisa mendengar suara lain selain suara-suara milikimu sendiri. Bisa kan?”

Bibir itu bergerak seakan hendak melakukan sesuatu lalu tiba-tiba saja tidak jadi melakukannya. Kepala perempuan itu mengangguk, matanya beralih memandang jalan di depannya.
“Jadi, boleh aku bicara?”

Laki-laki itu menepikan mobil, jalan lengang, seakan memang seluruh semesta mempersiapkan tempat dan ruang untuk mereka saat itu. Atau lebih tepatnya, untuk laki-laki itu, saat ini.

“Aku pernah mencintaimu. Kamu tahu itu. Bahwa aku sungguh-sungguh jatuh cinta dan mencintaimu ketika kita menikah. Ya, aku memang mencintai bibir itu, karena, bila di matamu aku bisa berkaca dan menemukan diriku, di bibirmu aku menemukan cinta, dan kegairahan. Di lekuk-lekuk senyummu ada semangat dan kekuatanku untuk meraih masa depan. Aku bahkan mau mempertaruhkan hidupku demi bibir itu, demi merekahnya senyum, dan derai tawa, yang membuat jantungku berdebar-debar melaju ditengah kemacetan jalan saat pulang kerja sehingga rasanya semakin tersiksa karena aku ingin sekali segera pulang agar dapat mengecup sudut-sudutnya.”

“Lalu, mengapa…”

Laki-laki itu memberi isyarat dengan tangannya, dan bekas isterinya menggigit bawah bibirnya, menahan diri.
“Lalu mengapa kita bercerai?”

Laki-laki itu menebak dengan tepat. Karena itu adalah pertanyaan yang sama yang diajukannya berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Bekas isterinya mengangguk, bibirnya terbuka sedikit, dan matanya berkaca-kaca.
“Ya, mengapa? Aku sendiri heran, mengapa semakin lama aku malah semakin menikmati jam-jam lemburku dan mengharapkan waktu-waktu kerja menjadi lebih panjang. Aku bahkan sering berharap terjebak saja terus di tengah-tengah kemacetan. Mengapa? Karena aku tidak lagi menemukan debaran-debaran jantung ketika berhadapan dengan bibirmu, yang aku dengar hanya bergodam-godam palu kecurigaan dan tuduhan yang pada mulanya aku tidak mengerti dari mana asalnya. Akhirnya, setiap kali aku memandangmu dan bibirmu mulai berbicara, yang aku rasakan adalah rasa mulas di perutku, bukan lagi seperti kupu-kupu yang naik turun tetapi lebih mirip sengatan sekawanan lebah yang menyerang lambungku, karena begitu bibirmu terbuka, bukan madu yang keluar namun begitu banyak dakwaan yang, pada mulanya, tidak berdasar.”

Laki-laki itu menatap perempuan cantik di sampingnya.

“Sungguh. Aku tidak pernah berniat mengkhianati, berselingkuh, tidak pernah selintaspun. Namun kemudian, aku berpikir, mengapa tidak? Mungkin dengan begitu kamu akan merasa puas, merasa menang, bahwa aku memang suami kalahan. Kuakui bahwa aku lelah dihukum untuk sebuah kesalahan yang tidak aku lakukan, dan godaan yang datang, yang pada awalnya sama sekali tidak punya arti, tidak punya peluang, menjadi sebuah jalan alternatif bagiku. Mungkin imanku yang tidak kuat, atau malam-malam kita yang terlalu banyak diisi dengan kebekuan. Atau dua-duanya. Yang pasti, aku jatuh. Aku mengaku kalah. Aku memang bersalah. Aku minta maaf. Namun nampaknya dosaku sudah terlampau besar. Aku tidak pernah menghendaki kita berpisah, kamu yang menginginkannya, dan aku tidak punya keberanian atau kemampuan untuk mempertahankan apa yang memang tidak kamu anggap perlu untuk dipertahankan lagi… Maafkan aku. Karena aku tidak mampu pulang, aku mencari kedamaian di bibir yang lain, dan aku sudah menemukannya. Aku memang pengecut. Bahkan tidak berani mengecup bibirmu saat aku sangat ingin melakukannya karena aku takut lidahku tidak mampu merasakan rasa yang lain selain rasa pahit” Laki-laki itu mengedipkan matanya, ada air yang membuat matanya berkaca-kaca.
“Masih ingat? Dulu kau pernah bilang bibirku rasanya seperti es krim vanila dan lembut seperti gulali,” kata perempuan itu lirih, sebuah senyum rawan menggantung di bibirnya, manis sekaligus sangat pahit.
Laki-laki itu mengangguk. Oh, masa-masa yang sangat indah di sebuah waktu yang berbeda dan begitu jauh. Ia menghela nafas dalam diam, betapa terlambatnya.

“Kita sudah benar-benar gagal bukan?” perempuan itu berbisik.
“Kita sudah pergi terlalu jauh dan kehilangan jalan pulang.”

Perempuan itu menatap laki-laki itu dengan pandangan yang berbeda, “Seandainya aku lebih banyak mendengarkan?’’

“Aku akan lebih mudah berbicara.”

“Kalau kau lebih mudah berbicara?”

“Kau akan lebih mudah mendengarkan dan kita akan lebih mudah saling mengerti.”

“Seandainya kita lebih mudah saling mengerti?”

“Kita akan lebih banyak berciuman.”

“Kalau kita lebih banyak berciuman?”

“Kita akan lebih mudah bergandengan.”

“Kalau kita lebih mudah bergandengan?”

“Kita tidak akan pernah terlalu mudah untuk saling melepaskan.”

Ah, ada sebutir bening jatuh diujung bibir itu, dan lelaki itu mengusapnya lembut dengan jari telunjuknya. Mereka sudah sampai di persimpangan tempat dia dan pemilik bibir manis itu harus berpisah. Tetapi sedetik saja pada saat ini, ingin sekali disimpannya tetes bening itu di dalam sakunya. Namun, ketika dirabanya sakunya itu, sudah penuh, terisi dengan cinta untuk sebuah bibir yang lain.

Jakarta 24 Juni 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar