Senin, 31 Mei 2010

Perempuan Tepi Mekong

Perempuan Tepi Mekong

Oktober 7th, 2008 by radiani

Ayolah! Coba kau cari di mana airmata kesedihanku tersimpan! Kau tak kan pernah menemukannya. Karena aku sendiripun tak tahu dimana letak airmata kesedihanku. Kalau airmata tawa aku punya berliter-liter. Tiap malam mengucur deras dari sudut mataku sebanyak botol Lau Lao yang kutengak. Minuman alkohol kelas rakyat khas Laos itu menghangatkan tubuhku dari terpaan angin sungai Mekong. Tanktop dan rok mini tipisku serasa bagai gumpalan selimut bulu domba. Lau Lao selalu menguatkan hari-hariku di sudut kota Vientiane yang ramai ini. Satu-satunya bagian kota yang selau ramai dengan kehidupan malam. Bagian kota yang lain sudah sepi seperti pemakaman Prancis yang megah dengan nisan berpilar pualam. Minuman keras itu menjaga tawa dan kegembiraanku setiap hari. Hingga tak kukenal lagi kesedihan. Airmataku hilang tiap bulirannya melayang entah ke alam apa.

Atau aku terlahir dengan hati batu, hawa salju. Seumur hidupku tak kurasakan airmata kesedihan. Tak pernah kurasakan hangatnya tetesan mengalir hangat merambati pipiku. Berakhir di ujung dagu. Seperti apa warnanya? Berkilauankah bagai bulir permata menggelinding dari mata, atau kehitam-hitaman tercemar eyes shadow? Airmata tawaku kehitam-hitaman, sengak bau alkohol.

“Sabai dee, phii huk! ( Apa kabar sayang!)” Seorang Thailand menyapaku. Sapaan itu adalah ajakan untukku. Uh! hari masih terlalu pagi untuk masuk kamar lagi. Keluasan langit malam ini baru saja kurasakan. Kebebasan udara belum lama kuhirup penuh-penuh. Paru-paruku rasanya belum setengah terisi. Aku bangun jam empat sore. Santai-santai berdandan mematut-matut wajah di potongan cermin retak. Sambil sesekali melempar pandang ke televisi yang siarannya tak kumengerti. Penyiar berwajah cantik itu berkali-kali bicara dengan bahasa tingkat tinggi, istilah sulit, bahasa orang terpelajar. Baru setengah jam aku berdiri di depan klub ini. Belum lama kulitku terkena udara. Rokokku baru setengah kuhisap, masih malas untuk kembali ke ranjang. Lagipula aku lebih senang melayani tamu bule atau negro, uangnya lebih banyak. Tamu Asia tak menyenangkan. Rewel dan banyak tuntutan.

“Bor! Bor! ( Tidak! Tidak!),” tolakku. Senyum segera lenyap dari wajah Thailand. Secepat kilat berubah jadi cibiran akibat penolakanku. Cuh! Dia meludah di hadapanku. Huh! Sayang katamu? Sudah lama kata itu jadi hantu buatku. Menakutkan! Aku sering kecewa karena percaya pada kata itu. Seperti juga yang terjadi padamu Thailand! Sayangmu itu dalam semenit telah berubah jadi ludah yang jatuh ke tanah kotor.

Ibuku bilang, ia sayang aku. Tapi ia memukuliku sebagai ungkapan sayangnya. Tanpa dijelaskan dulu kenapa sayangnya diwujudkan dengan menampar pipiku, atau memukul kakiku dengan tongkat. Ayahku bilang, aku anak kesayangannya, tapi waktu Ibu menyiksaku dengan kasih sayangnya. Ayah tak membelaku tapi membelaiku dengan sumpah serapah.

Pamanku bilang, ia adalah dewa penyelamatku. Aku akan dilimpahinya dengan banyak kasih sayang. Lalu dibawanya aku ke Vat Xieng Gneun. Sebuah jalan di tepian Mekong. Sisi barat kota Vientiane. Dijualnya aku disana. Paman tak salah. ‘Sayang’ memang benar-benar melimpah ruah di tempat ini walau hanya sebatas kata-kata. Murah meriah bertebaran di mana-mana. Membuatku semakin yakin bahwa sayang yang sebenarnya tak pernah ada di muka bumi ini.

Sayang tak pernah ada bila tak ada uang. Ibu memukul karena kehabisan pangan. Ayah marah karena tak tahu cara untuk menambah penghasilan. Paman hanya memanfaatkan kesempatan melihat kemiskinan. Semua itu membuatku harus berkorban demi kasih sayang kepada keluarga. Atau demi apa aku tak paham. Apa demi adik-adikku yang berjumlah lima orang? Atau untuk Ayah yang tak mampu bertanggung jawab, karena sebagai petani kecil penghasilannya juga kecil. Mungkin hanya sekedar mengendorkan saraf Ibu, yang selalu menegang bila melihat adik-adikku berebut makanan. Bisa juga untuk menambah modal berjudi Paman. Sungguh sayang yang menyakitkan.

“Chau sa bai dee bor? (Apa kabarmu baik saja)” Oley pengemudi tuk-tuk tertampan di sepanjang Vat Xieng Gneun, menanyakan kabarku hari ini.

“Dee Chai (Baik saja),” jawabku sambil mengalihkan pandang. Tatapan mata Oley selalu membuatku bergetar. Hatiku mengeligis pedih, aku sadar akan perasaan yang sedang tumbuh di hatiku. Perasaan yang ditimbulkan tatapan mata Oley

“Thuppy, koi hak choi ( Thuppy, aku cinta padamu).”

“La kon Oley! ( Sampai jumpa Oley).” Aku mengusirnya. Bukan karena aku tak suka tapi karena keberadaan Oley yang begitu dekat membuatku salah tingkah, aku jadi tak bisa menjajakan senyumku dengan baik. Bisa-bisa senyumku tak laku malam ini, karena terlihat kaku. Tatapan mata Oley sering membuatku beku. Apalagi pernyataan cintanya, hatiku kaku-kaku tak bisa bergerak bila Oley berkata begitu.

Kata cinta itu telah begitu banyak meluncur dari mulut Oley. Tapi tak sedikit pun aku memberinya kesempatan untuk berkata lebih dari itu. Tak kuberikan sedikitpun kesempatan pada diriku untuk mendengar lebih dari itu. Seandainya aku bukan pelacur dan Oley bukan penjaja mariyuana yang berkedok supir tuk-tuk. Kami pasti sudah beranak dua tahun ini.

Andai aku tak terdampar di jalan kelam ini. Dan Oley masih menggarap ladang orang tuanya di Luang Prabang. Kami pasti bisa membentuk keluarga kecil yang tenang. Dengan kesederhanaan. Tanpa kemeriahan yang memabukkan seperti di jalan ini. Hanya desah sawah, derai sungai, berisik jengkerik yang memenuhi hari-hari.

Perkawinan seorang pelacur dan penjaja mariyuana tak akan berjalan lancar. Perkawinan Jay dan Kova hanya berjalan tiga bulan. Dan yang tiga bulan itu merenggut semua senyum Kova. Sekarang tanpa mariyuana Kova teronggok lemas tak berdaya. Aku tak mau itu terjadi padaku. Aku tak mau kehilangan senyumku hanya karena cinta Oley.

Aku ini perempuan yang harus selalu tersenyum. Karena tanpa senyum aku tak bisa menyambung hidupku. Aku harus selalu tersenyum karena senyum adalah bagian dari pekerjaanku. Pelanggan akan memberi uang lebih, bila aku lebih banyak memberinya senyuman. Senyumku adalah hidupku. Senyum model apapun itu. Senyum manis yang mengundang, senyum nakal dengan sedikit godaan, atau senyum puas sesaat sesudah melayani. Senyum tak boleh lepas dari bibirku.

Aku selalu tersenyum. Ketika sedang duduk menunggu pelanggan, ketika telentang di hadapan lelaki hidung belang, ketika hari teriris sepi di sudut tikungan jalan. Saat menatap Oley yang termangu di belakang kemudi tuk-tuk terbungkus asap rokok. Senyumku untuk setiap kata sayang yang terucap. Senyumku untuk setiap lembaran kip, dolar, atau bath. Mata uang negeri manapun. Senyumku yang palsu untuk setiap kata sayang yag juga palsu itu.

Bibir ini sekarang sudah jadi mesin senyum saja. Kompak dengan mataku. Kata orang mata tak bisa bebohong. Tapi mataku bekerja sama dengan bibirku adalah pembohong yang ulung. Mereka membohongi semua orang dengan senyum dan kerling. Membohongi hatiku yang selalu merasa muram.

Oley melambaikan tangan dengan wajah sendu, setiap aku digandeng lelaki untuk diajak kencan. Malam ini pun dia hanya memandang saja ketika aku sengaja lewat di depan tuk-tuknya mangkal. Sambil menyandarkan kepala pada bahu seorang negro kupandang wajahnya yang tampak pasrah. Uh! Kenapa tak kau tonjok saja negro mata keranjang ini! Bawa aku lari dengan tuk-tukmu, seperti seorang super hero yang muncul dari langit dan membawaku terbang ke angkasa.

Bukankah seharusnya ia cemburu? Bila ia memang punya cinta untukku. Cinta dan cemburu seperti sendok garpu, tak lengkap bila salah satu tak ada. Tapi tetap saja bisa digunakan walau pasangannya tak ada. Sendok bisa digunakan tanpa garpu begitu pula sebaliknya. Bisa cinta atau cemburu saja, atau tidak keduanya sekaligus. “Jadi seperti apa cintamu itu? serasa apa sayangmu itu? Oh, Oley sampai hari ini aku hanya mendengarnya terucap dari mulutmu saja. Kurasa itu perlu dibuktikan lebuh dulu. Entah dengan cara apa. Aku tak tahu Oley.”

Selembar kertas terjatuh dari tanganku, aku menemukannya terselip di bawah pintu. Tanganku bergetar tak sanggup menyangga beban yang tertulis di atasnya.

Aku tak tahan melihat senyuman di bibirmu Thuppy. Betapa aku ingin juga meikmati senyummu seperti banyak laki-laki lain. Tapi aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyikapimu seperti semua laki-laki itu. Seandainya aku elang, akan kusambar tubuhmu. Kubawa ke sarangku di puncak tebing curam yang tak terjangkau mahluk apapun. Hanya ada kau dan aku. Tapi aku dan kau seperti Laos dan Thailand. Hanya tipis terbatasi Mekong. Begitu dekat tapi tetap saja di seberang.

Maafkan aku Thuppy, Pada kenyataanya aku terlalu pengecut. selamat tiggal Thuppy.

Oley

Membaca surat Oley, ada rasa panas yang keluar dari dada. Merambat ke atas ke arah kepala. Hendak menuju mata, Tapi terhenti sampai di leher saja. Senyumku menghambatnya. Akibatnya leherku terasa tercekik.

Aku ini perempuan yang selalu terseyum. Apapun yang terjadi aku selalu tersenyum. Cobalah kau cari dimana airmata kesedihanku tersimpan. Tak mungkin ditemukan. Karena sekarang aku yakin aku tak memilikinya.

Aku tetap tersenyum. Bahkan ketika kulihat mayat Oley terapung-apung di Mekong.

KHAEM KHONG, MEKONG RIVERSIDE, 060208



TUK-TUK : SEPERT BAJAJ, KENDARAAN KHAS LAOS DA THAILAND.

LAU LAO : MINUMAN KERAS KHAS LAOS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar