Jumat, 21 Mei 2010

Reinkarnasi

Filed under: Cerita Pendek

Rara namanya dia anak yang cantik, anggun, pintar, kaya-raya, baik hati, dan ceria. Dia anak yang sempurna sangat sempurna, tapi hanya satu kekurangannya yaitu tidak mempunyai tubuh yang sehat. Sekarang dia duduk di kelas enam di bangku sekolah dasar dan kini sedang menghadapi ujian akhir.

Lalu setelah lulus, dia mendapat nilai tertinggi sekabupaten. Dia masuk sekolah yang bernama SMP 2, sekolah terfavorit di wilayah ini. Suatu hari ayahnya memberi sebuah kamar tidur yang diberi nama oleh Rara ialah “Father”.
“Kenapa diberi nama seperti itu?”, tanya ibu
“Karena ayah jarang pulang ke rumah, lagi pula ini adalah hadiah yang sangat berharga bagiku. Karena di dalamnya terdapat mainan, buku-buku, dan juga alat-alat musik yang Rara sukai ma”, jawab Rara dengan girang.

Di sekolah Rara dikenal anak yang ramah dan pintar, tapi baru seminggu Rara bersekolah di sana. Ibunya meninggal karena mengalami kecelakaan lalu-lintas di Surabaya. Setelah pemakaman ibunya yang tercinta, Rara tidak mau pergi sekolah selama sepuluh hari. Selama sepuluh hari itu Rara terus menangis di kamar “Father”-nya. Lama-kelamaan ayahnya bosan mendengar suara tangisan pilu anaknya yang kehilangan ibu kandung tercintanya itu. Sebenarnya ayah juga merasa sedih tapi apa mau dikata yang sudah pergi biarlah pergi karena tak dapat kembali lagi. Dalam pergulatan pikiran tersebut munculah ide dalam benak ayah “Bagaimana kalu ayah menikah lagi!”.

Rara menyetujuinya, kemudian ayah menikah dengan tante Martha cinta pandangan pertama ayah. Dua hari kemudian Rara kembali bersekolah, walaupun kadang-kadang Rara teringat ibunya yang sudah meninggal. Dia berusaha untuk tidak menangis karena dalam benaknya selalu terngiang “Ibumu meninggal karena dia ingin memberimu seorang adik”, jadi ibu tirinya sekarang sedang mengandung. Namun lima bulan kemudian, ternyata anak yang dikandung tante Martha mengalami keguguran. Setelah itu tante tak bisa mempunyai anak lagi. Karena itulah, tante Martha sangat sayang kepada Rara dan menganggap Rara sebagai anaknya sendiri. Tiga minggu kemudian ayah Rara berdinas ke Bandung. Tiba-tiba dua hari setelah itu, ayahnya terserang penyakit jantung dan tak dapat ditolong lagi kemudian meninggal.

Terus dan terus menangis, Rara mengurung diri di kamar pemberian ayahnya. Serasa bila memasuki kamar “Father”-nya seperti sedang dipeluk ayahnya. Pelukan itu sangatlah hangat, pelukan itu melambangkan betapa ayahnya sangatlah menyayanginya.

Sebulan kemudian, Rara masuk sekolah lalu teman-temannya dengan raut wajah khawatir menanyakan keadaannya. Setelah itu meminta maaf ketika mengetahui bahwa ayah Rara telah meninggal. Setelah beberapa hari bersekolah, perubahan sikap Rara muncul kepermukaan. Biasanya dia ceria namun kali ini dia menjadi pendiam dan tadinya sangatlah ramah menjadi pemarah. Karena dia tahu diam-diam beberapa temannya telah memanfaatkannya. Lalu terjadilah isu atau omongan-omongan yang tak enak didengar telinga khususnya bagi Rara. Misalnya seperti “Rara judes”, “Bawel”, “Jahat”, “mau menangnya sendiri”, dan lain-lain.

Lama-lama Rara jadi tak tahan mendengarnya, juga sikap teman-teman yang mulai menjauhinya. Tiba-tiba dalam suatu pertengkaran “Ehk…”, Rara pingsan. Tubuhnya membentur lantai kelas, kemudian dia dilarikan ke rumah sakit. Tante Martha sedari tadi bolak-balik di ruang tunggu rumah sakit. Dia tak sabar menunggu berita dari dokter tentang keadaan anak tirinya itu. Rara, dia terserang penyakit jantung mendadak. Sejak kejadian itu, sikap Rara mulai berubah. Caranya memandang orang, senyum yang tak nampak di bibirnya yang merah merekah.

Empat minggu kemudian penyakit jantungnya kembali menyerang dan bertambah parah. Namun ada satu hal yang aneh yaitu kelainan pada bagian hatinya. Dokter sendiripun tidak tahu penyakit tersebut dan penyebab penyakit tersebut. Sakit itu bertambah parah, dokter menganjurkan “Sebaiknya Rara pindah sekolah, mungkin lingkungan sekolahnya yang sekarang tidak cocok untuknya”, ibu Rara mengangguk lalu segera melaksanakan anjuran dokter.

Setelah sampai di rumah, ibu menasehati Rara agar mau pindah sekolah. Kemudian Rara menyutujui, dengan berkata “Memang lingkungan sekolah Rara yang sekarang tidak cocok dengan kondisi hati Rara. Apalagi dengan suasana wajah teman-teman ketika menatap Rara”.

Akhirnya Rara pindah sekolah, dia pindah di sekolah sebelah sekolahnya yang dulu. Dia mendapatkan teman sebangku yang bernama Era. Era adalah anak yang baik, ramah, dan juga sabar. Dia orang pertama yang begitu tahu perasaan Rara, walaupun Rara tak pernah menceritakannya kepada Era. Di sekolah ini rata-rata murid-muridnya bersikap cuek, tidak ambil peduli atas kedatangan Rara. Tapi Rara mempunyai teman yang sangat membencinya yaitu Laila. Dia anak yang berprestasi bagus dalam pelajaran, namun ketika Rara datang dia mulai merasa tersaingi.

Suatu hari Rara memerlukan ketenangan untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan soal “Era, aku mau tanya. Di mana tempat yang tersembunyi dan tak ada orang sama sekali?”, tanya Rara ketika itu. Wajah Era agak berubah “Di sana, di sebelah laboratorium IPA. Di sana ada pohon yang menutupi benda yang cukup mengerikan di dalam tanah”, jawab Era dengan wajah agak pucat. Rara cuek dengan perkataan temannya yang aneh itu, bergegas dia menuju tempat tersebut. Tiba-tiba,
“Tunggu, jangan kesitu!”
“Kenapa?”
“Di situ berbahaya, yang kumaksudkan sesuatu yang ada di dalam tanah…”, perkataannya terhenti. Kepalanya menunduk, kemudian menatap lekat Rara “Sesuatu itu adalah mayat. Mayat seorang lelaki, dia adalah murid sekolah ini. Dia mati karena digigit ular kobra. Saat ditemukan mayatnya tinggal tulang-belulang tapi ketika diangkat. Tiba-tiba saja, tulangnya masuk kedalam tanah. Kejadian itu sangat aneh, aku juga pertama-tama tak percaya. Namun setelah melihat sendiri, arwah lelaki tersebut yang melayang. Dia selalu berkata “Aku akan membunuhmu”, dengan kepala merunduk”, ucap Era dengan nada sangat meyakinkan
“Terima kasih atas pemberitahuanmu, tapi aku tak percaya dengan hal seperti itu. Kalau memang ada, aku tak takut”, ucap Rara tenang.

Akhirnya Rara nekat juga pergi ke lab IPA, dengan buku fisikanya dia duduk di samping pintu bagian depan lab IPA. Lalu dia mulai belajar dengan serius seperti biasanya. Perlahan-lahan timbul warna cokelat melayang-layang di udara. Membentuk seorang lelaki yang berwajah pucat menatap Rara. Rara diam saja seolah-olah dia tak melihatnya. Bayangan cokelat itu kini sedang duduk di samping Rara sambil terus memperhatikan sosok gadis itu. Keadaan sekitar sepi, bagai sekolah sudah tak ada kegiatan lagi. Di samping kanan adalah dedaunan yang menutupi gerak-gerik Rara. Arwah itu mulai berbicara “Kau tak takut padaku?”, namun Rara tidak angkat bicara “Aku bertanya padamu”, kali ini suaranya lebih keras “Mengapa aku harus takut padamu, sedangkan aku tidak tahu sifatmu!”, seru Rara “Oh, begitu”, arwah itu diam sejenak “Bagaimana kalau kita berteman, supaya kau mengetahui sifatku yang sebenarnya?”. Suara itu sangat dingin, membuat bulu guduk berdiri tegak. Rara merasakannya jelas, tapi kecuali dengan kata teman itu. Terdengar hangat dan ramah, tiba-tiba saja jantung Rara berdegup. Dia terperanjat kaget melihat tampang bayangan cokelat itu. Wajahnya tampak kusut, saat itu mata bayangan tersebut sedang menatap tanah kosong “Baiklah, aku akan jadi temanmu”, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Rara. Setelah menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hati Rara. Perasaan yang tak diketahuinya, tapi rasanya sangatlah menyenangkan. Namun “Aah…”, ringis Rara sambil memegang dadanya “Lepaskan tanganmu, aku akan menyembuhkanmu”
“Kau sebenarnya siapa?”
“Namaku Randi, aku adalah orang yang sudah meninggal. Jadi orang yang sudah mengalami mati itu bisa berbuat apa saja sekehendak hati”

Randi membuka baju Rara dan menyilak kaos dalamnya yang terlihat sekarang hanya pakaian dalam Rara. Randi menyentuh Rara dibagian dadanya, perlahan-lahan Randi menghisap darah Rara melalui jari-jarinya yang dingin. Randi menyentuhnya sampai rasa sakit gadis itu hilang.

Dari hari ke hari, mereka semakin dekat dan akrab.Setiap penyakit Rara kambuh, Randi selalu melakukan hal sama. Semakin sering dia melakukan itu semakin pucatlah wajah Rara. Akhir-akhir ini Rara cepat sekali capek, namun Rara sama sekali tak menyadarinya. Suatu ketika Rara pulang dengan berjalan kaki seperti biasanya. Tak sengaja Rara menabrak seorang lelaki yang sudah setengah baya “Maaf kek, saya tak sengaja”, ucap Rara dengan membungkukkan badannya “Aku tidak apa-apa, hei kenapa wajahmu nak. Mengapa pucat sekali?”
“Ah masa, aku tak merasakannya. Memangnya bapak siapa?”, tanya Rara penasaran.
“Aku adalah paranormal. Ehm…bisa kulihat telapak tangan kirimu”, pinta kakek dengan mengulurkan tangan kanannya. Dengan ragu-ragu Rara mengulurkan tangan kirinya “Wah nak, kau hebat sekali!”, seru kakek kagum “Apanya kek?”
“Kau pasti kenal dengan Randi. Sebaiknya kau menjauhi arwah warna cokelat itu. Sebab dia ingin bermaksud jahat padamu, Randi sedang memanfaatkanmu nak. Dia menyedot darah segarmu. Randi sengaja menawarkan pertemanan kepadamu agar dapat mencelakaimu”, setelah bebicara kakek pergi begitu saja.

Sepanjang jalan Rara hanya memikirkan kejadian yang barusan saja dialaminya. Ada yang memusnahkan sesuatu yang berada di hatinya. Memusnahkan rasa saat pertama kali bertemu dengan Randi, memusnahkan semua perasaan yang dia alami ketika melalui hari bersama Randi.

Setelah sampai rumah ibu menyuruh Rara untuk meminum obat “Ma, apalagi sih ngapain aku meminum obat. Lagian penyakit jantungku sedang tidak kumat”, tolak Rara “Wajahmu pucat sayang, lagian juga penyakitmu belum sembuh benar. Ayo diminum”, ibu menjulurkan tangannya yang sudah memegang obat dan air minum “Tidak!”,tukas Rara.

Semalaman Rara terus memikirkan kejadian tadi, yang ada di benaknya sekarang terngiang-ngiang di pikiran “Teman-temanmu di SMP dulu semuanya membencimu, lalu Laila juga sangat membencimu. Dan teman satu-satunya ingin membunuhmu!”

Esoknya Rara mencari Randi, dia sudah memasrahkan dirinya untuk dibunuh Randi. Ternyata Rara lebih memilih mati dari pada hidup di dunia ini. Mereka bertemu di tempat di mana mereka biasa bertemu “Randi, aku sudah mengetahui maksudmu untuk menjadi temanku”, ucap Rara sambil menatap wajah bayangan cokelat “Bagus, aku tidak menyangka kalau kau sampai menyerahkan dirimu. Sekarang kau sudah tahu dengan sifatku yang sebenarnyakan?”
“Aku masih belum mengetahui sifatmu yang sebenarnya, tapi… Aku ingin kau melanjutkan penghisapan darahku, aku mohon”. Randi segera melakukannya, kemudian dia membuka baju Rara. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya, saat Randi ingin menyentuh dada gadis itu. Waktu terhenti dan
“Siapa yang melakukan ini?”, tanya Randi sambil berteriak
“Aku kobra”
“Kaukan sudah lama menghilang!”, teriak Randi semakin kesal
“Yah dan sekarang aku seperti kamu. Randi, sebenarnya kau sukakan pada cewek ini?”
“Apa maksudmu, aku suka dengan gadis ini. Itu tidak mungkin!”
“Jangan lakukan itu Randi. Karena bila kau membunuhnya, kau tak akan bisa berenkarnasi. Walaupun dia mati, kau tak akan bisa bertemu dengan dirinya lagi”
“Aku tidak peduli!”
“Bohong, sebenarnya kau sangat memudulikannya. Karena kau menyukainya!”
“Tidak, aku sama sekali tidak menyukai gadis berpenyakitan ini”
“Kalau itu perasaanmu yang sebenarnya. Lakukan, hisap darahnya sebanyak yang kau inginkan dan bersiap-siaplah untuk jadi arwah gentayangan untuk selama-lamanya!”. Randi berfikir sejenak, lalu timbul perasaan yang aneh yang sulit dijelaskan. Tiba-tiba saja perasaan enggan untuk membunuh Rara timbul, memenuhi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan bayangan cokelat itu menjauhi Rara dan mulai menghilang.

Waktu berjalan kembali, Rara ditemukan pingsan tanpa baju terbuka sedikitpun. Bajunya Rapih seperti sediakala. Rara kemudian langsung di larikan ke rumah sakit. Ketika sadar, dia menceritakan perihal dirinya kecuali arwah itu. Karena dia hanya ingin menyimpannya sendiri, hanya dia seorang tidak boleh ada orang lain.

Setelah Rara sembuh, dia langsung mencari Randi namun dia sama sekali tak menemukan sosok bayangan cokelatnya itu. Beberapa hari Randi tidak diketemukan Rara. Rara mulai gelisah dan berfikiran yang bukan-bukan. Suatu hari “Randi di mana kamu, apakah kau sudah tak mau bertemu denganku. Aku tak akan memintamu untuk menghisap darahku lagi, aku janji”, dengan nada penuh rasa cemas. Rara bersender di tembok samping pintu, tiba-tiba saja ada seseorang yang memegang pundaknya “Eh…”
“Hai, hantunya sudah tak muncul lagi ya?”
“Ya…”, jawab Rara lemas kemudian dia menatap wajah orang tersebut “Randi…!”, teriak Rara gembira. Setelah mata itu melihat kebawah, Rara merasa heran. Kaki milik Randi menyentuh tanah “Kau masih mengenaliku Rara. Aku telah berenkarnasi, aku sekarang sama persis sepertimu”, dia memang Randi. Hantu yang berwarna cokelat yang selalu menemani Rara ketika pelajaran kosong, ketika istirahat, ketika ingin pulang sekolah, ketika Rara masih di sekolah. Rara merasa senang apa yang telah dikatakan Randi. Apalagi dia sudah tak merasakan bulu guduknya berdiri setiap Randi membuat kata. Randi memperkenalkan kawan yang berdiri di belakangnya “Ini adalah kobra sahabatku. Dia yang telah membantuku berenkarnasi seperti ini agar dapat bertemu denganmu terus. Dia juga sama sepertiku, berenkarnasi”, ucap Randi sambil membuat singgungan senyuman di bibir Rara. Namun senyum di bibir Randi tidak berlangsung lama. Rara pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan sebuah senyuman yang manis. Yang telah hilang sejak kedua orang tuanya meninggal. Rara meninggal di pelukan Randi, teman terbaiknya. Sambil mengeluarkan air mata, Randi membawa Rara ke pantai, sayup-sayup terdengar sebuah lirik

Angin…bawalah dirinya kesana
Angin…bahagia hatinya kini
karena telah mendapat teman di sisinya
Oh angin…pantai

March 11, 2005

Daun Kering

Filed under: Cerita Pendek

Bajuku lusuh, waktu sedang menunjukkan siangnya. Langkahku biarkan menulusuri pelan-pelan koridor. Mataku melihat sosoknya berjalan diseberang dengan seseorang. Wanita itu tertawa riang bersama seseorang. Angin bertiup pelan menyisingkan rok sekolahku. Mata ini terus memperhatikan, tangan mereka saling bergandeng tangan dan tangan yang lainnya saling menunjuk buku. Senyumnya, aku iri dengan sebaris gigi keluar disaat bersamanya sedangkan ketika denganku hal itu tak terjadi. Wanita berkurudung itu terus membuat seseorang yang disampingnya tersenyum manis. Senyum mereka terlalu mengembang hingga membuatku tak dapat tersenyum. Kupaksakan diri untuk terus berjalan namun bagaikan dipaku bumi kaki ini masih diam. Keadaan sekelilingku teramat sepi, tak ada seorangpun yang menyapaku.

Wajah ini semakin lusuh, kepada sesosok pria yang tak pernah mengerti aku. “Lagi ngapain?”, tampak secuil dosa terpampang diwajahnya. Senyum itu agak mengembang, hampir sama disaat bersama wanita berkerudung “Ngga lagi ngapa-ngapain, mang kenapa?”, ucapku tanpa menoleh sedikitpun kepadanya. Pria ini masih berdiri disamping tempatku duduk. Tubuhnya lebih kurus dariku, namun urat nadinya lebih menonjol keluar. Angin menerpa suasana diantara kami, diam membisu hanya itu yang terjadi diharinya bila bersamaku. Sudah kusisingkan lengan bajuku untuk membuatnya tetap tertawa, tapi yang terjadi hanya suasana hening yang kudapat. Mungkin, karena dia adalah pacar pertamaku yang benar-benar aku sukai. Walaupun dihati ini masih menunjuk kepada orang lain. Suasana saat bersamanya persis sekali seperti daun kering yang tertiup angin. Wajah kami sama-sama berlalu tanpa menoleh sedikitpun, sesekali kulirikkan mata ini.
“Boleh baca sms-nya?”
“Boleh”
Kubuka inbox dihp-nya, tak ada hal yang pribadi disana. Entah kenapa, wajahku meninggalkan senyum saat dia memperbolehkanku membaca sms-nya. “Mo pulang ngga?”, tanyanya padaku sambil melihat wajahku “Iya”
“Pulang bareng ngga?”
“Terserah”, kulihat senyumnya tergores. Kemudian aku berpamitan dengan teman lalu kami jalan beriringan. Tak membicarakan apapun, sepasang matanya sesekali bertabrakan mata denganku. Osh, jauh lebih tua dariku. Jalannya dipelankan mengikuti langkahku. Di koridor sekolah angin bertiup pelan, sebaris gadis IPS duduk berjejer dipinggir lantai koridor. Tertawa mereka riang “Ayo lagi ngapain?”, teriakku menyapa mereka “Mau rujak ngga?”, tawar mereka sambil menyodorkan aneka buah plus dengan sambelnya kepadaku. Osh masih terus berjalan seperti tak menghiraukan. Kucicipi satu irisan buah mangga mereka, mulutku belepotan karena sambelnya. Tertawaku masih belum usai karena ulahku ini. Osh menunggu dengan tatapannya, entah ada perasaan apa yang hadir didiri. Angin tertiup sebagaimana mestinya, dia pria pertama yang menunggu langkahku untuk menghampirinya. Supaya tubuh ini sejajar dengan langkahnya. Walaupun perasaan ini tak kukenali tapi segores pulpen berbentuk senyum tergambar dihatiku.

Suasana kelas saat ini sedang sepi, satu-dua orang menempati kelas dijam istirahat. Kutempati bangku belakang pojok kelas, tidak sengaja melihat dirinya. Sesosok berlalu didepan pintu, aromanya sangat khas hingga aku mengetahui sesosok itu. Tubuhnya mendekati wajah pedihku, lagi-lagi wanita berkerudung itu berjalan beriringan dengannya. Seperti melihatnya untuk pertama kali dan untuk yang sekian kalinya, perasaan yang timbul sangatlah menyakitkan. Dia tak akan mengetahui perasaan yang kualami saat ini, bila wanita berkerudung itu sedang bersamanya.

Dia tak akan pernah mengetahui; saat duduk berduaan dengannya ada seseorang yang tersenyum padaku, ketika benar-benar memperhatikannya isi hati ini terisi orang lain, saat mencarinya aku telah menemukan orang lain terlebih dahulu sebelum dia, ketika diteleponnya kukira itu dari seseorang yang selalu kuharapkan. Perasaan bersalah itu timbul kembali, aku sebenarnya tak pernah membalas cinta Osh. Mungkin juga karena itu tawanya tak pernah lama saat disampingku. Aku baru sadar bahwa aku selama ini tak pernah menghiraukannya.

Suatu hari disaat aku duduk berduaan dengan Osh didepan kelas. Seseorang itu menyapaku, mengungkapkan lagi kejadian yang dulu pada saat tak bersama Osh. Wajah ini menelungkup tak mau membalas senyumnya, tak ingin melihat wajah lesunya. Namun usaha ini percuma, tak membuahkan hasil. Osh dengan sikapnya seolah-olah menyetujui aku untuk menikmati masa laluku ini. Kupandangi seseorang itu dengan lekat seperti biasanya, seolah tak ada Osh disampingku dengan tatapan mengarah kepadaku. Kisah itu terulang kembali disaat aku ingin benar-benar melupakannya. Apa kesalahanku? Osh memberi peluang, disaat aku ingin membayar kesalahan ini. Dia tak lagi menghiraukanku bahkan ketika kita bertatap muka. Entah dari mana datangnya, tinta pulpen itu menggores hatiku pedih.

Seseorang itu menyapaku terus, memberi senyumnya yang sama ketika Osh tak ada dihariku dulu. Setiap pulang sekolah, aku menunggu seseorang itu yang seharusnya niatku ini menunggu Osh. Di koridor sekolah dekat ruang guru, di sanalah Osh menyadari saat itu aku belum pulang. Matanya tetap memperhatikanku lalu,
“Mau pulang ngga?”
“Ngga lagi nunggu Alu”, nama seorang adik kelas menjadi korban. Senyumku ragu kutunjukkan, walau pahit aku tersenyum. Saat sosoknya hilang dari hadapan, sejenak aku berpikir “Osh, seandainya kau benar-benar tahu seseorang yang sedang aku nantikan sekarang. Apakah senyum dibibirmu itu masih terpajang?”, kepala kutundukkan. Seperti ini dan selalu seperti ini, ketika aku ingin menelpon seseorang. Osh menuliskan kata berupa sms dihp-ku. Ketika hubungan kita penuh dengan liku, kupakukan tangan pada seseorang. Ketika Osh tak bisa menemaniku duduk, seseorang datang dengan maksud menggantikannya. Ketika tubuh Osh berlalu begitu saja disampingku, tiba-tiba seseorang memberi senyumnya menyapaku. Ketika kebetulan itu menjadi sebuah kebiasaan. Pelan-pelan palingan muka Osh menjadi suatu pembatas bagi kami, secara diam-diam.

Seseorang ingin aku menempati janji, suatu saat ketika itu kita akan bertemu lagi dan saat itu hatiku tak dipenuhi Osh. Dan dalam diriku sendiri aku berkata “Bila memang perasaan ini ada hanya untuk sekedar membalas cinta Osh yang dulu padaku. Walau menyakitkan biarlah aku tanggung, supaya aku dapat merasakan sesuatu yang selama ini Osh tanggung diam-diam”. Namun tetap saja aku seperti daun kering, hanya bisa bergerak ketika angin menggerakkanku. Dan aku ragu dengan sikap Osh yang mulai dingin tak memedulikanku, dengan sikap Osh yang seperti itu pelarianku menuju ke seseorang semakin menjadi suatu keharusan. Seseorang itu membentangkan tangan terhadapku. Lalu, ketika dua senyum menggores hatiku. Ada perasaan aneh yang timbul dan aku tak bisa memastikannya.

Tiba-tiba wanita berkerudung itu tersenyum padaku, dalam senyumnya dia berkata “Bila perasaanmu tulus, hal yang menyakitkan itu tak akan pernah terjadi”, kusibakkan rambut kebelakang. Mengartikan lebih dalam senyumnya, dia juga menyukai Osh lebih dari yang aku punya. Jendela disebelahku menghapuskan rintik dipipi. Mencurahkan tentang isi hatiku saat ini. Osh melewati kelasku tanpa menoleh sedikitpun. Seperti inikah dia disaat dijauhiku, pandanganku alihkan keluar jendela. Rerumputan hijau menari seakan menyambut kesedihan jiwaku. Kisah yang menyenangkan ini membuat coretan berbentuk senyum tergambar banyak dihati, tak heran satu coretannya sangat menyakitkan jiwa. Sedikit demi sedikit aku menyadari, kisah kita hanya sebuah kesalah pahaman. Tak berakar dan tak berujung.

“Kamu sama saya jadian mau engga?”
“Siapa?”
“Hm…”
“Si…apa?”
“Kamu sama saya…jadian?”, matanya menatapku ketika itu. Sekarang mata itu masih berarti sama, namun sikapnya sudah berubah. Pernah sekali aku rasakan cinta itu tak hadir terhadapku. Aku kira karena terlalu sering ditatapnya, tapi ternyata alasan itu salah. Kisahku bertepuk sebelah tangan, selama ini hanya dia yang merasa sakit hati. Ternyata itu hanya sebuah perasaanku saja. Osh, bila perasaan itu masih terjaga, aku pasti akan menghubungimu. Bila memang ada yang lebih baik dariku, biarkanlah dia duduk. Jangan pernah mengharapkanku…jangan biarkan dia pergi sepertiku…

Suatu saat aku pasti akan mengatakannya. Koridor sekolah sepi saat aku melewatinya dengan baju sekolah yang lusuh kulihat pintu kelasmu dari jauh. Ada sebuah senyum disana, pelan-pelan tanpa kau sadari aku telah berjalan mendekatinya dengan senyum menyinggung bibir walaupun seseorang masih mengikuti dalam jejak kaki ini. Seperti daun kering yang tertiup, bergerak mengikuti angin walau beberapa kerikil menyertai.

October 31, 2004

Bola Kacaku

Filed under: Cerita Pendek

Berjalan sendirian, pandangan gadis itu kosong. Aku sangat ingin memeluknya atau membuat penyanggah untuknya. Karena kelihatannya, gadis itu bisa jatuh sewaktu-waktu. Jalannya sangatlah pelan, tak bertenaga. Dia melewatiku, tanpa ada perkenalan, tanpa ada pamitan, tanpa ada senyum. Kali ini aku hanya bisa melihat punggungnya, tak dapat melihat matanya yang mulai layu tak bersinar lagi.

Dia adalah teman sekelasku, Rina. Duduk di depanku dengan rambut panjang tergerai. Sekali-kali dia menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, di saat jam pelajaran berlangsung. Membuat wangi rambutnya menyentuh ujung hidungku. Membuat alunan detak jantungku terasa berat untuk berjalan. Aku sangat ingin menarik nafas panjang, agar wangi samponya benar-benar melekat di hidungku.

Dengan geraian rambutnya, batu bata cinta tersusun dalam hatiku untuknya. Suaranya yang lembut, kudengar sesekali saat dia menjawab pertanyaan. Dia adalah gadis yang sangat periang, sangat berbeda aliran denganku yang selalu menuliskan puisi di lembar belakang buku catatanku. Kutuliskan untuknya, yang amat kuperhatikan di dalam kelas.

Sehelai Rambut

kibaran helaian rambutmu
membuat aroma tersendiri dalam udara
membuat darah dagingku menggigil
seperti hujan membuat hawa dingin sedingin es
terhadapmu seperti itu
mendinginnya nadiku
mencium bau rambutmu
kadang helaian rambut yang kau sibak
menempel di wajahku yang dekat denganmu
membuat untaian kata-kata
di balik buku catatanku

Dari sebuah pinjaman penghapus. Tangannya menyentuh jariku yang sedang menulis. Membuat kaca mata yang melekat di wajahku harus jatuh dan pecah “Maaf, maaf yah saya tidak sengaja!”
“Maaf soal apa? Tanganmu yang sudah menyentuh jariku atau soal kacamataku yang pecah”
“Ah…eh…”, mukanya memerah. Dia balikkan badannya, membelakangiku. Aku sangat senang melihat bola matanya yang sedang menatap wajahku dengan kebingungan.

“Tomi…!”, aku balikkan badan mencari sumber suara “Tomi aku…”, tubuh Rina berdiri di depanku. Dia menundukkan kepalanya tak berani menatapku, akupun berbuat sama. Kemudian aku mendengakkan kepalaku, kami bertemu pandang “Aku sungguh…sungguh me…minta maaf padamu…”, ucapnya terbata sambil memainkan jarinya “Kenapa meminta maaf padaku?’, tanyaku. Matanya berubah serius “ Aku akan menggantikan kaca matamu yang pecah. Aku akan membelikan kaca mata baru untukmu. Kalau kau bisa, kita pergi bersama untuk mencari kaca matamu yang baru”, ucapnya menjelaskan. Kulihat sinar matanya sangat serius, berbeda sekali dengan yang tadi. Aku tidak bisa berfikir banyak. Tiba-tiba saja tangannya meraih lenganku, dan menarikku pergi.

Kami pergi ke Mall, kami pergi hanya berdua saja. Kami kelilingi semua tempat, walau barang yang kami cari sudah terbeli. Saat itu kami isi waktu dengan menceritakan pengalaman diri yang konyol. Sikapnya sangat sulit ditebak, aku rasakan hal itu sangat kental di dirinya. Tawanya sangatlah manis, aku tak menyesal kaca mata kesayanganku ini pecah. Setelah acara jalan-jalan berakhir, kami jalan di trotoar bermaksud untuk pulang. Hari sudah gelap, tak baik wanita jalan sendirian pikirku dan berniat mengantarnya sampai rumah. Langit sangat hitam, tak ada bulan dan bintang malam ini “Besok langsung dipakai ya…”, pintanya “Ya”, jawabku datar. Kami saling diam, seperti tak ada kata yang tepat untuk mengakhirinya. Tiba-tiba saja rintik hujan membasahi baju sekolahku, membasahi baju sekolah kami. Dengan cepat aku menggenggam tangannya lalu mengajaknya berlindung. Di pohon yang rindang kami berlindung. Masih tanpa kata-kata kami membersihkan buih-buih hujan yang menempel di baju kami masing-masing.

“Rumahku sudah dekat, kau pulanglah”, pintanya sambil memandang ke depan tanpa melihatku “Tidak baik meninggalkan seorang teman apalagi dia seorang wanita, di pinggir jalan seperti ini”
“Apakah kau termasuk laki-laki yang tak pernah menyakiti hati lawan jenis?”, tanyanya datar sambil melihatku kali ini. Di balik kata-katanya mengandung makna yang berarti, tapi entah itu apa?. “Kenapa diam?’, tanyanya. Jawaban itu sudah dalam benakku tapi aku ragu untuk mengutarakannya. “Wanita itu seperti bola kaca, mudah sekali pecah. Bila kita memeluknya terlalu erat, dia akan pecah. Tapi bila kita membiarkannya, dia akan menggeliding. Aku hanya mencoba sekuat tenagaku. Menjaga bola kaca itu agar tidak pecah dan tak pergi dariku. Sayang aku belum mempunyai bola kacaku sendiri, jadi apa salahnya aku sedikit melakukannya terhadapmu”, dia menatapku lekat. Hujan yang deras tak kami hiraukan, tatapan matanya seolah memegang erat tanganku. Suara petir menyambar kesadaran kami “Benar, rumahku sudah dekat. Aku tidak apa-apa pulanglah”, kali ini tangannya mendorong tubuhku, menyuruhku pulang.

Hujan sudah mulai reda, rintik gerimis menyambut langkah kami pulang. Aku ingin sekali mengantarnya dan dia mengijinkannya. Di depan rumahnya, aku hanya bisa melamun mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja. Bibirnya membuat senyum, membiarkan mata ini terpaku “Mampir?”, ajaknya. Tarikan tangannya yang menggenggam tanganku membuatku untuk mengikutinya. Rumahnya biasa saja namun sangat nyaman, sentuhan wanita sangat kental di sini. Hanya dalam sebuah malam. Entah apa yang memasuki pikiranku, aku memasuki kamarnya, menggenggam tangannya seolah dia adalah milikku, rambutnya yang panjang itu kali ini benar-benar kubelai. Tak ada yang kami tertawakan, tapi kami hanya tertawa pelan. Aku mengikuti alur tubuhnya seperti aku mengikuti alur tubuhku.

Malam yang lelah, tempat tidurnya membelaiku lembut. Tubuh Rina terkulai di sampingku. Masihku lihat jelas seluruh tubuhnya, kami tabrakkan mata.

Pagi-pagi mejaku sudah kuhias dengan sebatang pulpen dan secarik kata dalam halaman belakang buku catatanku.

Sungkan
aku memulainya dengan sebuah tawa
merobek seluruh ragaku yang berotot ditatapnya
ditatapnya aku pelan-pelan seperti aku seoarang musafir
tatapannya mengajakku tergelincir
seolah aku ini tamunya
tamu jiwanya ini duduk manis di pojok hati
sambil terus membayangkan perlakuannya
apakah kita masih teman
adakah sebatas garis yang masih membatasi kita
membatasi betapa kecilnya kita

Dia datang sambil terus menatapku, tak ada senyum di wajahnya. Hal itu membuat prasangka buruk terhadapku. Namun setelah duduk lama di mejanya sapaan itu keluar dari mulutnya “Pagi Tom”
“Pagi…”, jawabku tanpa berani menatap wajahnya. Kisah kami sangat indah tak ada cacat sedikitpun, walaupun kami tahu sebenarnya kita terlalu membangkang. Namun menjelang akhir tahun pertengkaran mulai merebak. Kedua orang tuanya mengetahui kami pacaran. Padahal kami masih duduk di kelas tiga SMA, masa depan kami masih jauh dan belum tentu Rina adalah teman hidupku untuk selamanya. Apa salahnya kami saling mengenal walau mencoba serius. Orang tuanya terlalu otoriter, apa karena aku dianggap seonggok orang yang tidak berguna. Karena aku yatim piatu, dan hanya mempunyai orang tua angkat.

Muka Rina dalam beberapa minggu ini terlihat sangat pucat. Aku selalu menanyakan apa sebabnya, namun dia tak pernah menjawabnya. Dia terlihat sangat lemah, tiba-tiba saja dia menangis di pundakku saat sekolah usai di dalam kelas
“Ibu menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku…”, ucapnya sambil terisak tanpa berani melihat bola mataku “Maksud kamu?”, tanyaku bingung “Aku mengandung anakmu…hik…hik…”
“Kita hanya melakukannya sekali Rin,…”
“Tapi justru karena sekali itu yang membuat jadi,Tom!”
“Kamu hamil?”
“Iya aku hamil dua minggu…”
“Tapi Rin kita melakukannya sudah beberapa bulan yang lalu, tapi kenapa umur kandunganmu baru dua minggu?!”
“Kamu tidak percaya denganku Tom? Kamu Tom, kamu! Kamu yang selalu menginjak benakku, yang mengisi mataku setiap hari. Kau tahu sendiri waktu itu aku masih perawan dan kita melakukannya atas suka sama suka! dan kita tak sengaja melakukannya saat itu Tom. Dan setelah semua sudah terlambat, kau menyangkalnya Tom!”
“Bukan itu, aku hanya tidak percaya…”
“Iya, kau tidak percaya kalau aku melakukannya hanya dengan kamu saja! Iyakan?”, aku hanya bisa diam dan ternyata diamku membuat Rina putus asa “Biadab!”, ucapnya keras sambil menangis pergi. Aku melihat punggungnya yang berlari pergi sambil meninggalkan keputusasaan….

Beberapa hari kami tak saling bicara, hati nulariku menyuruhku untuk berbicara duluan dan aku menurutinya. Tapi Rina selalu menghindar, terpaksa aku mengajaknya berbicara di saat jam pelajaran. Dengan secarik kertas aku mengirim pertanyaan untuknya,
Kenapa selalu menghindar?bales,Tomi…
Buat apa terus menempel dengan orang yang sama sekali tak mempercayai pacarnya sendiri.
Kamu salah paham, waktu itu aku sangat kaget. Hampir saja aku tak bisa berbicara sepatah katapun.
BOHONG…!
Kalau kau tidak percaya kita bicara setelah usai sekolah,
Kalau kau memang ingin bertanggung jawab, selesaikan sekarang!
Dengan cara apa?

Kuserahkan kertas itu kepadanya, agar dia menjawab lagi atas pertanyaanku. Tiba-tiba saja, “Pak, Tomi menggangguku dengan kertas ini pak!”, teriak Rina sambil memamerkan kertas dariku. Wajahku langsung pucat pasi, mulutku kaku, sedangkan tubuh Pak Herman terus mendekatiku dan Rina
“Maju ke depan Tomi”, suruh Pak Herman sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Aku menuruti perkataannya, saat bangun dari tempat dudukku Rina berbisik kepadaku “Dengan cara ini”, katanya lirih. Tubuhku berdiri tegap di depan kelas “Baca kertas yang kau kirim buat Rina!”, ucap Pak Herman lantang. Dengan tangan yang bergetar aku membaca keras-keras isi kertas ini.Teman-teman yang lain menertwaiku, aku malu sekali tapi apa boleh buat.
“Kau puas?”, tanyaku kepada Rina saat aku mulai duduk kembali. Pak Herman tak mengatakan apa-apa lagi, tapi wajahnya menunjukkan bahwa isi kertas ini sangatlah lucu. “Yah, sangat puas. Aku menunggumu usai pulang sekolah, di sini”, ucapnya penuh senyum. Syukurlah…

Satu-persatu teman kami mulai keluar, kami masih duduk diam.
“Kau mau bertanggung jawab?”, tanyanya membuka pembicaraan. Wajahnya kupandang sangatlah pucat. Gerak tangannya menggapai tanganku kini sangatlah lambat.
“Aku belum siap”,
“Kenapa belum siap, saat kau melakukannya kau siap. Padahal hal itu sangatlah dadakan!”, dia mulai menangis dan melanjutkan perkataannya “Benar kata ibuku, aku harus menggugurkan kandunganku. Karena seorang yatim piatu mana berani untuk bertanggung jawab!”, ucapnya keras dan sangat menusuk hatiku tepat sekali di jantungku “Rina!”, bentak aku tiba-tiba dan hal itu membuat tangisannya berteriak lebih keras lagi.
“Tom…hik…aku tak mau menggugurkannya, sama sekali tidak mau. Aku mencintainya sama persisi aku mencintaimu…hik….Tolong Tom, bertanggung jawablah…”
“Akan kupikirkan nanti…”
“Kau lupa akan janjimu?”, tanyanya dan kali ini aku melihat bola matanya yang serius itu lagi “Yang mana?”
“Janjimu saat kita benar-benar belum jadian, saat aku memecahkan kaca matamu dan sebelum kita melakukan perbuatan yang biadab itu!”, kata-katanya mulai histeris. Tak lama kemudian dia berkata “Wanita itu seperti bola kaca…”
“Gampang sekali pecah, bila kita menggenggamnya erat dia akan pecah dan bila kita membiarkannya dia akan menggelinding. Aku hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk, menjaganya agar tidak pecah dan apa salahnya aku melakukannya terhadapmu”, bibir kami bergerak bersama. Ada luka yang diam-diam mengeluarkan darah di hatiku “Aku minta maaf…”, ucapku penuh sesal yang terlalu kaget dengan peristiwa ini. Air mataku mulai keluar, dia tersenyum “Kau sudah membuatku pecah Tom, dan aku percaya kau tak akan membiarkanku menggelinding”, aku memeluknya persis seperti malam itu. Saat dia belum di genggamku erat.

Saat ingin mengantarnya pulang, seperti biasa kami selalu bercanda. Jalan raya yang menuju rumahnya dipenuhi kendaraan yang lalu lalang
‘Cekiiiit….!’
“Kyaaa…!”
‘Braaak…!’, entah bagaimana kejadiannya. Itu terlalu cepat bagiku, aku tak percaya akan hal ini. Tubuhnya tergeletak di aspal depan rumahnya, mobil telah menghantam tubuhnya keras. Ayah dan ibunya menamparku berkali-kali di rumah sakit. Tamparan yang sangat menyakitkan hatiku, pada saat Rina sadar dan membisikkan “Tersenyumlah, anakmu sudah tiada…”, ucapnya sambil mengeluarkan tetesan air mata seorang ibu. Aku hanya bisa menggenggam tangannya sambil meneteskan air mataku untuk anakku yang pertama kali di hidupku. Sayang tetesan air itu bukanlah kebahagiaan. Kamar rumah sakit sangat sepi, tak ada suara suster yang sedang membantu dokter, tak ada suara omelan ayah angkat, tak ada suara tamparan kedua orang tua Rina…hanya ada suara tangisan bayi yang membayangi diri kami, meneriakkan kehidupan ditelinga kami.

Berjalan sendirian, pandangan gadis itu kosong. Aku sangat ingin memeluknya atau membuat penyanggah untuknya. Karena kelihatannya, gadis itu bisa jatuh sewaktu-waktu. Jalannya sangatlah pelan, tak bertenaga. Dia melewatiku, tanpa ada perkenalan, tanpa ada pamitan, tanpa ada senyum. Kali ini aku hanya bisa melihat punggungnya, tak dapat melihat matanya yang mulai layu tak bersinar lagi.

Aku mengejar tubuh gadis itu “Rina…!”, tangannya kuraih lalu menatap matanya “Kita bisa memulainya dari awal BOLA KACAKU, di pernikahan…”, matanya yang layu tak bersinar lagi mulai menatapku hampa “Di pernikahan?”
“Yah di pernikahan, aku akan melamarmu kapan saja! Kau maunya kapan? Hari ini atau kapan?”, tanyaku penuh senyum dan membuat segores senyum di bibirnya kali ini. Dalam hatiku untuk bola kacaku, kali ini dilembaran yang baru aku tak akan membuatmu pecah lagi ataupun menggelinding menjauhiku. Aku akan menjagamu sekuat tenagaku dan melakukan hal itu sepenuh hatiku terhadapmu. Aku menggenggam tangannya, mengantarnya pulang. Senyum kami merekah sama persis waktu yang lampau mungkin lebih indah sekarang walau ada sedikit luka yang membekas di diri kami masing-masing. Aku sangat mencintaimu bola kacaku, sama dengan kau yang sedang tersenyum padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar