Jumat, 21 Mei 2010

Lagi-Lagi Uang

Lagi-Lagi Uang
• Karen Angela

Bagi semua pengantin baru, apalagi pasangan muda, aku rasa honeymoon is a must. Sepertinya kalau bukan karena alasan yang mendesak misalnya jadwal kontrak kerja yang padat, tak sepasang pun pengantin baru ingin menunda atau bahkan melewatkan bulan madu mereka.
Aku dan Andri, suamiku, pun merasa demikian. Walaupun tidak berbudget besar, kami tetap mengupayakan terlaksananya bulan madu kami ke Singapura. Segala persiapan mulai dari membuat paspor, memesan tiket dan penginapan, memilih obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi, hingga menyusun koper kami lakoni dengan penuh semangat sebab begitu lewat hari H, kami langsung bertolak.
Hmm... sudah kubayangkan pasti seru rasanya melancong ke tempat baru berdua saja dengan orang yang kita sayangi.

***

Pipi kiri dan kanan ini masih terasa pegal karena kebanyakan cipika cipiki saat menyalami para tamu yang hadir di perhelatan nikah kami sehari sebelumnya. Namun, girangnya hati membuat tawa canda dan senyum tak henti-hentinya lepas untuk satu sama lain saat pesawat lepas landas meninggalkan bandara Soekarno-Hatta.
Lalu, apakah benar honeymoon itu semanis madu? Seheboh persiapannya? Tak terlupakan sepanjang masa? Ah, itu omong kosong! Lho?
Sungguh, mungkin tak akan ada orang percaya. Di masa honeymoon yang kata orang enak dan berkesan, aku dan Andri bertengkar! Meski tidak sampai berteriak-teriak, ini yang paling pahit dalam hubungan kami. Andri bahkan mengutarakannya saat kami menanti pesta kembang api di River Hong Bao, yang sebelumnya kubayangkan bakal romantis sekali.
Kecewa sudah pasti. Banget, malah. Siapa sih yang ingin impiannya dirusak. Dan penyebab dari semua itu tak lain dan tak bukan adalah uang. Andri merasa 'kaget', bahkan dibuat 'ngeri' dengan pengeluaranku yang menurutnya boros. Padahal, barang-barang yang kubeli itu kebanyakan titipan ortu. Aku bahkan tak sempat membelikan oleh-oleh untuk teman-teman dan saudara-saudaraku yang lainnya.
Dari masalah boros tersebut, dia jadi sangsi mempercayakan pengelolaan uang padaku. Dia juga takut aku membelanjakan uang bersama untuk hal-hal yang menurutnya sekunder. Menurutnya, aku harus menyusun prioritas dalam berkeluarga. Menghabiskan 90.000 rupiah untuk eye shadow merek cukup ternama menurutnya hanya membuang-buang uang, sementara di pasar bisa diperoleh merek lain dengan harga jauh lebih murah. Hello?
Aku tak menampik jika suamiku memang orang yang sederhana. Dia baru mengganti barang jika sudah rusak atau menurutnya tidak layak pakai lagi. Tapi wanita mana yang tak butuh aksesoris penunjang penampilannya? Lagipula, barang-barang bermerek yang kupakai sekarang, sebagian besar diberi ortu. Aku bukan penggila merek, hanya saja terkadang baju yang jatuhnya lebih bagus itu kebetulan bermerek.
Toh, ada juga kaos-kaos milikku yang harganya tak lebih dari 20.000 rupiah per potong. Yang penting bagus dan nyaman dipakai. Kosmetik yang cukup mahal pun, aku beli dengan hasil keringat sendiri. Kecuali pembersih wajah, kebanyakan habis pakai lebih dari setahun. Sebagai salah seorang pembicara di perusahaan, aku rasa wajar bila penampilan perlu sedikit dipoles.
Sejak zamannya masih ditunjang ortu, aku telah terbiasa mandiri untuk pos-pos pengeluaran penunjang penampilan. Aku juga penganut paham yang mengatakan bahwa dengan cinta, semua bisa teratasi. Asal ada cinta, hidup susah pun jadi senang. Ah, naif sekali rasanya sekarang.
Memang logis kalau dia bilang kebutuhan menabung untuk membeli rumah, biaya pendidikan anak kelak, dan hal-hal lain menyangkut keluarga harus diprioritaskan. Tanpa disinggung olehnya pun, aku sudah tahu, mengerti, dan berniat melakukannya. Begitu dini dia memvonisku gila belanja, padahal belum sepeser pun uangnya kuhabiskan untuk berfoya-foya membeli baju, tas atau kosmetik pribadi.
Aku dan Andri sangat jarang bertengkar. Jadi wajar jika tak pernah terlintas dalam pikiranku, di masa honeymoon pun pertengkaran bisa terjadi. Serasa ada benda tajam yang menikam ulu hatiku. Aku merasa terusik oleh kata-katanya, ketidakpercayaannya. Kok tega-teganya ya, dia merusak bulan madu kami gara-gara uang. Ironisnya, kami baru saja melewati Fountain of Wealth... di Suntec City. Bahkan make a wish segala di sana.

***

Mungkin karena kekecewaan yang berlarut, aku jatuh sakit. Mataku bengkak dan perih karena terlalu banyak menangis. Parahnya lagi, badanku demam tinggi. Andri yang awalnya masih bersikap dingin jadi panik saat keesokan harinya, aku tak kunjung membaik.
Mataku merah sekali walaupun lensa kontak telah kulepas. Salahku juga tetap memakai lensa kontak di kala tidur, dan bodohnya aku lupa membawa kacamata cadangan. Di saat aku merasa sedih, sakit, dan lonely itulah, Andri begitu telaten mengurusku. Merasa berdosa kali, pikirku sinis. Dia bahkan membawaku ke rumah sakit, khawatir terjadi sesuatu pada mataku. Padahal ongkos berobat di Singapura kan mahal.
Kami pulang lebih awal dari rencana semula. Repot, sudah pasti. Plus, uang deras mengalir seperti air keran. Dari membiayai rumah sakit, membeli kacamata, mengganti jadwal tiket, semuanya butuh dana ekstra. Sekembalinya ke tanah air, aku benci sekali bila ada yang menanyakan honeymoon kami. Ada yang menyalahkan karena kami terlalu cepat berangkat, bukannya beristirahat dulu sehabis hari H. Ada juga yang menyayangkan sekaligus menghibur bahwa masih ada kesempatan di lain waktu. Aku sih tidak terlalu berharap.
Namun, tak seorangpun tahu alasan sebenarnya. Bahwa telah pertengkaran dengan uang sebagai pemicunya. Memalukan. Dan aku jadi agak pesimis dengan bahtera perkawinan kami selanjutnya.

***

Dua tahun berlalu. Terkadang, aku masih sakit hati jika teringat honeymoon perdana kami yang tidak mengenakkan. Tapi, aku memaafkan suamiku. Andri pun nampaknya sudah melupakan hal ini. Toh, aku tidak pernah seenaknya membelanjakan uang bersama. Ada skala prioritas dan penghematan juga sehingga kami selalu dapat menabung. Selain itu, Andri banyak memperbaiki sikapnya sejak aku melahirkan putri pertama kami. Mungkin trauma juga melihatku bersusah payah melahirkan dengan banyak darah.
Menurutku, dia sekarang lebih sabar dan penyayang. Walaupun tidak selalu ikut begadang karena harus bekerja esoknya pagi-pagi sekali, dia cukup perhatian dengan dukungan morilnya di tengah kelelahan fisik yang aku hadapi di bulan-bulan awal mengasuh bayi kami.
Kejadian itu juga telah mengubah pola pikirku. Wanita perlu bekerja, full-time part-time tidak masalah. Tidak bisa seratus prosen bergantung pada suami. Kendati suami tetap menafkahi, untuk kesenangan pribadi, aku lebih suka merogoh kocekku sendiri. Jadi nggak perlu setiap saat bertanya dan meminta pada suami. Kalau barang yang kita minta dikasih sih tidak masalah, tapi kalau harus berargumentasi dulu itu yang bikin malas. Biarpun akhirnya diberi juga kan, rasanya sudah tidak sama lagi.
Aku pun mulai menata kembali perasaanku. Membangun penilaian positif setelah sebelumnya ternoda oleh kenangan pahit. Mencoba mensyukuri apa yang kumiliki sekarang. Andri suami yang rajin, bertanggung jawab, dan setia. Meski tergolong ganteng, dia tidak hobi tebar pesona. Keluarga mertuaku pun welcome sekali. Belum pernah terjadi konflik mertua-menantu pasca pernikahan seperti yang sempat menghantui pikiranku. Di rumah, aku berusaha menjadi ibu rumah tangga dan istri yang baik. Di tempat kerja, aku tetap bisa profesional.
Sampai suatu ketika, Andri mempertanyakan sebuah buku anak-anak yang baru kubeli untuk Kezia, putri kecil kami. Satu buku kecil sebesar telapak tangan orang dewasa bergambar harganya 20.000 rupiah. Menurutnya itu kemahalan. Aduh! Aku jadi geram.
Aku kira wajar harganya segitu. Buku ini bukan buku biasa, melainkan terbuat dari karton tebal yang antisobek dan tahan air. Yang berukuran lebih besar, harganya lebih mahal lagi. Buntut-buntutnya, aku beli yang mini. Eh, masih kena omel juga.
"Kalau kemahalan, mbok ya dikliping sendiri saja lalu dilem di karton tebal dipotong, dijadikan buku, dan disampul!" sahutku kesal.
Bayangkan, sejak Kezia lahir, Andri hanya pernah sekali membelikan mainan murah. Sampai saat ini, mainan-mainan Kezia semuanya hibah dari sepupu-sepupu dan hadiah dari ortu. Jauh di lubuk hatiku, aku kecewa karena Andri yang notabene bapaknya tidak pernah memperhatikan hal yang satu ini.
Di lain pihak, kakek dan neneknya selalu membelikan oleh-oleh baju, mainan, bahkan susu formula dan pampers. Miris rasanya. Bukankah bapak yang hubungan darahnya lebih dekat dengan anaknya sendiri seharusnya yang lebih memperhatikan? Lebih berperan dalam tumbuh kembang anak? Memangnya anak cuma perlu dikasih makan? Dari buku-buku dan mainan-mainannya kan, anak bisa belajar banyak hal. Mengenal warna, mengenal berbagai jenis binatang. Siapa tahu malah dapat memacunya untuk lebih cepat berbicara dan bertambah pandai. Kekesalanku pun memuncak ke ubun-ubun.
"Kamu pikir, suami mencari uang untuk kesenangan pribadi? Apa gunanya aku capek-capek bekerja dari pagi sampai malam membanting tulang?" katanya berdalih saat aku mempertanyakan rasa sayangnya pada keluarga.
"Kalau begitu, kan tidak ada salahnya membelikan mainan anak yang berkualitas," sahutku.
"Aku bukannya tidak setuju kamu membelikan mobil-mobilan, lego, dan sebagainya. Hanya saja, anak kita belum cukup umur. Percuma kamu membelikannya sekarang. Nanti malah hilang atau rusak saja."
"Tapi terbukti kan, Kezia sekarang jadi lebih pintar. Dia bisa mengenali binatang-binatang yang ada di buku ini."
"Kamu kan bisa mencari yang lebih murah. Nggak harus yang kertasnya tebal anti apa katamu? Tahan air dan antisobek?"
Aku menghela napas.
"Katanya cinta, kok... gara-gara uang kita bertengkar terus. Katanya sayang, kok... untuk urusan uang kamu tidak mau mengalah. Padahal aku nggak pernah meminta sesuatu yang aneh-aneh." kataku meninggi.
Karena gemas, kutinggalkan Andri begitu saja. Belum sempat melangkah keluar pintu, aku mendengar suara kertas koran yang sedang dibaca Andri robek ditarik-tarik oleh Kezia. Wah, kebetulan sekali. Rasakan.

***

Malam itu, pikiranku mengembara. Aku merenung sendiri di tengah sunyi dan sepi yang kurasakan. Pulau-pulau sisa noda tangisan di bantalku mungkin sudah bertambah lagi. Tatkala mencoba memejamkan mata, aku merasakan kepalaku dibelai. Aih, jujur hati ini rasanya bagai diguyur air sejuk.
Setelah tiga tahun mengarungi bahtera pernikahan kami, aku pikir kendala yang ada seharusnya bukan makin memisahkan melainkan menyatukan kami dan membuat masing-masing pihak lebih mengerti satu sama lain. Memang ada kalanya sifat sulit diubah. Atas nama cinta, saat itulah pengertian kita dituntut.
Anyway, setiap hubungan cinta punya warna tersendiri. Aku pernah mendengar cerita dari seorang sobat ibuku, yang suaminya setiap hari pulang larut malam sekitar jam satu-dua dini hari untuk berkumpul dengan teman-temannya bahkan ada kalanya mabuk. Istrinya sudah kenyang menangis di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Sekarang dia sudah dapat menerima dan easy going saja. Salut aku, di tengah keadaannya yang seperti itu dia masih tetap mencintai suaminya.
Andri jauh lebih baik dari suaminya itu. Meski ketat soal uang, masih banyak sifat-sifatnya yang positif. Dia termasuk kepala rumah tangga yang baik. Mungkin, di saat kehidupan kami sudah lebih mapan, dia bakal perlahan-lahan berubah. Satu hal lagi, aku mencoba mengingatkan diriku sendiri bahwa dia adalah jodoh terbaik dari Tuhan.
Sudahlah, memang nobody's perfect. Aku pun terlelap di tengah belaian hangat suamiku. Esok pagi, aku pasti bisa tersenyum kembali. ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar