Selasa, 18 Mei 2010

PEREMPUAN YANG DITINGGALKAN


[ mula ] [ puisi ] [ cerita ] [ catatan ]

hammadRIYADI

PEREMPUAN YANG DITINGGALKAN

Jika sedang terjaga sendirian di tengah malam, menunggui Laila yang sebentar-sebentar mengerang kesakitan diserang de-mam, aku ingin sekali mengguncang pundakmu dan berbisik agak keras tepat di hadapan wajahmu yang pulas: “Hey bangun, temani aku!”

Engkau akan menggeliat mendekat, ikut duduk di tepi ran-jang hingga berderak, ikut mengawasi Laila yang sekalipun tidur namun kelihatan tak nyenyak. Sesekali engkau meraba dahinya, merasai dingin telapak kakinya. Lalu bila perlu, engkau engambil handuk kecil atau sapu tangan tebal di lemari pakaian, mem-bawanya ke dapur untuk dibasahi dengan air yang tadi pagi te-lah kujerang, dan menaruhnya di kening Laila perlahan-lahan berharap suhu panas tubuhnya berangsur normal.

Namun bila selang beberapa jenak kemudian erangnya jus-tru terdengar kian kencang, engkau buru-buru menyuruhku ke dapur untuk memarut timun, membuatkan kompres yang ko-non lebih manjur. Sementara engkau sendiri bergegas ke luar menuju rumah Pak Karsiman, mantri kesehatan yang berjarak seratus meter dari rumah kita. Aku tak perlu tahu bagaimana ca-ramu membangunkannya di puncak malam yang begini buta. Yang jelas, kau pasti pulang dengan sebotol sirup penurun panas . . .

Begitulah seharusnya.

Ya, begitulah semestinya. Engkau selalu hadir di sini, di de-katku dan Laila, di dekat istri dan anakmu. Selalu. Terutama di saat kami benar-benar membutuhkan hadirmu. Bukan. Bukan seperti sekarang, seperti malam ini. Aku sendirian yang mesti berjaga malam-malam dan mengurus semua: mengompres, me-marut timun, mengambilkan air inum jika Laila menjerit kehaus-an, merapikan selimutnya yang terkadang melorot kena tendang, membisikkan apapun yang sekiranya membiat hatinya nyaman dan senang. Masih untung ada ayah di kamar sebelah yang se-lalu bersedia kumintai tolong membelikan sirup yang biasa Laila gunakan walaupun untuk itu beliau harus bolak-balik ke rumah Pak Karsiman karena salah kemasan. Beruntung pula ada ibu yang tak pernah menolak jika kuminta menggantikan posisiku di samping Laila saat aku tak kuasa mengendalikan kantuk yang bergelayut di bola mata.

Sementara engkau, di manakah engkau malam ini?
Adakah engkau tengah dalam perjalanan kemari: kembali ke rumah ini, rumah yang menurutmu dulu amat kau suka kare-na mungil dan di depannya ada pohon pepaya? Kalaupun tidak dalam perjalanan pulang, adakah engkau sedang teringat pada Laila yang entah kenapa belakangan ini sering sakit-sakitan?
Ataukah engkau sedang asyik-masyuk bercinta dengan perempuanmu yang sundal binal nan menggairahkan itu, yang te-lah membuatmu tak pulang-pulang sejak lima tahun silam, tanpa kabar tanpa nafkah tanpa status percerian? Benarkah engkau telah sungguh-sungguh melupakan setiap malam-malam kita: mulai malam pertama usai engkau menunjukkan diri sebagai lelaki perkasa, hingga malam-malam selanjutnya di mana engkau mulai suka mencium perutku yang membuncit mengandung Laila?

Lupakah engkau pada janji setiamu di hadapan penghulu yang kau ikrarkan atas nama Tuhan? Lupakah engkau pada tanggungjawabmu sebagai ayah Laila? Bukankah semestinya engkau turut wajib membesarkannya, tapi siapakah yang selama ini membelikannya susu, baju, sepatu? Bukan engkau. Ayahku. Siapakah yang rajin menggendongnya sejak kecil, mengajarinya ciluk-ba? Bukan engkau. Ibuku. Siapakah yang saban hari mengantarnya ke sekolah? Bukan engkau. Aku. Bahkan, siapa pula yang membayar biaya persalinanku yang berjuta-juta itu? Bukan engkau. Orangtuaku. Lupakah engkau, wahai?
Lalau kenapa engkau sampai hati meninggalkanku sendiri-an di puncak cintaku yang hampir militan, mencampakkanku mirip sepah tebu sehabis kau kulum kau emut dalam-dalam? Kalau masalahmu adalah kepuasan, tak cukupkah pengorban-anku selama ini: bukankah telah kubiarkan engkau jajan di luar ketika apa yang kuhidangkan tak seperti yang kau harapkan, telah kurelakan pula engkau pulang malam-malam dengan pakaian awut-awutan dan leher sarat bekas gigitan? Kenapa, seperti kata peribahasa, air susu yang kuberi malah kau balas dengan air tuba? Kenapa, setelah kuberi engkau hati, masih juga merogok empela? Tak cukupkah rasa sakit yang kauberi, belum puaskah hatimu . . .

Hati? Ah, terkadang aku mulai sangsi: benarkah hatimu masih bisa menangkap rasa seperti hatiku yang sanggup mere-fleksikan rindu, dendam, bangga, bahagia, sedih, takut, berani, benci, dan cinta? Aku jadi ingin tahu: terbuat dari apakah sebe-narnya hatimu? Betulkah ia serupa segumpal daging berbentuk irip daun waru seperti yang digambarkan anak SMU di surat cin-tanya yang penuh kata “I love you”, seperti dilambangkan ke-lompok musik ”Dewa” sejak album “Bintang Lima”, dan tepatnya seperti dijelaskan ahli anatomi di buku-buku biologi?
Atau jangan-jangan, hatimu telah batu: mengingkari setiap rindu yang diam-diam melindap ke relung kalbumu, sekaligus menghapus semua ingin untuk bertemu dengan Laila dan de-nganku, hanya karena perempuan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar